Apakah seorang istri boleh bekerja?
Ya mungkin inilah pertanyaan yang umum ditanyakan oleh kaum hawa, apalagi bagi yang baru/akan menikah dan sebelumnya sudah pernah bekerja. Dalam Islam, memang sudah menjadi kewajiban suami lah yang bertugas untuk menafkahi keluarga, akan tetapi tidak ada pula larangan bagi istri untuk bekerja.
Dibolehkan bekerja bagi seorang istri bilamana sang suami mengizinkannya serta tidak mengganggu tugas utamanya sebagai istri. Dan apakah tugas utama seorang istri dalam bahtera rumah tangga?
Apakah untuk bersih-bersih rumah? Memasak? Berdiam diri dalam rumah?
Tidak, tugas utama seorang istri adalah taat kepada suami.
Ketika suami sibuk bekerja maka sebagai istri yang taat, hendaklah ia menjaga dan membersihkan rumah yang mereka tinggali.
Ketika suami tidak bisa memasak, maka menjadi kewajiban istri yang taat untuk memasak bagi keluarga.
Begitulah, sebagai pasangan suami-istri yang diajarkan dalam Islam.
Akan sayangnya, dewasa ini banyak yang melewatkan hal ini. Banyak para istri yang terlalu sibuk bekerja sehingga melupakan tugasnya yang sebenarnya. Keluarga menjadi berantakan. Padahal sebagai seorang Muslim yang baik, kita haruslah mendahulukan perkara yang wajib (ketaatan seorang istri) daripada yang mubah (istri bekerja).
Berikut ini ku bagikan sebuah kisah tentang seorang istri yang luar biasa, yang begitu mencintai suaminya sehingga ketaatannya tak perlu diragukan lagi. Kisah ini ku copy-kan dari web walimah.info. Semoga kita bisa memetik pelajaran yang berharga dari sebuah kisah yang sederhana ini.
-------------------------------------------------------------------------------------------
Sore itu sembari menunggu kedatangan
teman yang akan menjemputku di masjid ini seusai ashar. Kulihat
seseorang yang berpakaian rapi, berjilbab dan tertutup sedang duduk
disamping masjid. Kelihatannya ia sedang menunggu seseorang juga. Aku
mencoba menegurnya dan duduk disampingnya, mengucapkan salam, sembari berkenalan.
Dan akhirnya pembicaraan sampai pula pada pertanyaan itu. “Anti (panggilan kepada perempuan dalam bahasa Arab) sudah menikah?”.
“Belum ”, jawabku datar.
Kemudian wanita berjubah panjang itu bertanya lagi “Kenapa?”
Pertanyaan yang hanya bisa ku jawab
dengan senyuman. Ingin kujawab karena masih hendak melanjutkan
pendidikan, tapi rasanya itu bukan alasan.
“Mbak menunggu siapa?” aku mencoba bertanya.
“Menunggu suami" jawabnya pendek.
Aku melihat kesamping kirinya, sebuah
tas laptop dan sebuah tas besar lagi yang tak bisa kutebak apa isinya.
Dalam hati bertanya-tanya, dari mana mbak ini? Sepertinya wanita karir.
Akhirnya kuberanikan juga untuk bertanya “Mbak kerja di mana?”
Entah keyakinan apa yang membuatku
demikian yakin jika mbak ini memang seorang wanita pekerja, padahal
setahu ku, akhwat-akhwat seperti ini kebanyakan hanya mengabdi sebagai
ibu rumah tangga.
“Alhamdulillah 2 jam yang lalu saya resmi tidak bekerja lagi” jawabnya dengan wajah yang aneh menurutku, wajah yang bersinar dengan ketulusan hati.
“Kenapa?” tanyaku lagi.
Dia hanya tersenyum dan menjawab “karena
inilah PINTU AWAL kita wanita karir yang bisa membuat kita lebih hormat
pada suami” jawabnya tegas.
Aku berfikir sejenak, apa hubungannya? Heran. Lagi-lagi dia hanya tersenyum.
Saudariku, boleh saya cerita sedikit?
Dan saya berharap ini bisa menjadi pelajaran berharga buat kita para
wanita yang Insya Allah hanya ingin didatangi oleh laki-laki yang
baik-baik dan sholeh saja.
“Saya bekerja di kantor, mungkin tak
perlu saya sebutkan nama kantornya. Gaji saya 7 juta/bulan. Suami saya
bekerja sebagai penjual roti bakar di pagi hari dan es cendol di siang
hari. Kami menikah baru 3 bulan, dan kemarinlah untuk pertama kalinya saya menangis karena merasa durhaka padanya. Kamu tahu kenapa ?
Waktu itu jam 7 malam, suami saya saya
dari kantor, hari ini lembur, biasanya sore jam 3 sudah pulang.
Setibanya dirumah, mungkin hanya istirahat yang terlintas dibenak kami
wanita karir. Ya, Saya akui saya sungguh capek sekali ukhti. Dan
kebetulan saat itu suami juga bilang jika dia masuk angin dan kepalanya
pusing.
Celakanya rasa pusing itu juga menyerang
saya. Berbeda dengan saya, suami saya hanya minta diambilkan air putih
untuk minum, tapi saya malah berkata, “Abi, pusing nih, ambil sendirilah!!”.
Pusing membuat saya tertidur hingga lupa
sholat isya. Jam 23.30 saya terbangun dan cepat-cepat sholat,
Alhamdulillah pusing pun telah hilang. Beranjak dari sajadah, saya
melihat suami saya tidur dengan pulasnya. Menuju ke dapur, saya liat
semua piring sudah
bersih tercuci. Siapa lagi yang bukan mencucinya kalo bukan suami saya (kami memang berkomitmen untuk tidak memiliki khodimah)?
Terlihat lagi semua baju kotor telah di cuci.
Astagfirullah, kenapa abi mengerjakan semua ini?
Bukankah abi juga pusing tadi malam?
Saya segera masuk lagi ke kamar, berharap abi sadar dan mau
menjelaskannya, tapi rasanya abi terlalu lelah, hingga tak sadar juga.
Rasa iba mulai memenuhi jiwa saya, saya
pegang wajah suami saya itu, ya Allah panas sekali pipinya, keningnya.
Masya Allah, abi demam, tinggi sekali panasnya. Saya teringat perkataan
terakhir saya pada suami tadi. Hanya disuruh mengambilkan air putih saja
saya membantahnya.
Air mata ini menetes, air mata karena telah melupakan hak-hak suami saya.”
Subhanallah, aku melihat mbak ini cerita
dengan semangatnya, membuat hati ini merinding. Dan kulihat juga ada
tetesan air mata yang di usapnya.
“Kamu tahu berapa gaji suami saya?
Sangat berbeda jauh dengan gaji saya. Sekitar 600-700 rb/bulan.
Sepersepuluh dari gaji saya sebulan.
Malam itu saya benar-benar merasa sangat durhaka pada suami saya.
Dengan gaji yang saya miliki, saya
merasa tak perlu meminta nafkah pada suami, meskipun suami selalu
memberikan hasil jualannya itu pada saya dengan ikhlas dari lubuk
hatinya.
Setiap kali memberikan hasil jualannya,
ia selalu berkata “Umi, ini ada titipan rezeki dari Allah. Di ambil ya.
Buat keperluan kita. Dan tidak banyak jumlahnya, mudah-mudahan Umi ridho”, begitulah katanya.
Saat itu saya baru merasakan dalamnya
kata-kata itu. Betapa harta ini membuat saya sombong dan durhaka pada
nafkah yang diberikan suami saya, dan saya yakin hampir tidak ada wanita
karir yang selamat dari fitnah ini”
“Alhamdulillah saya sekarang memutuskan
untuk berhenti bekerja, mudah-mudahan dengan jalan ini, saya lebih bisa
menghargai nafkah yang diberikan suami. Wanita itu sering begitu susah
jika tanpa harta, dan karena harta juga wanita sering lupa kodratnya”
Lanjutnya lagi, tak memberikan
kesempatan bagiku untuk berbicara. “Beberapa hari yang lalu, saya
berkunjung ke rumah orang tua, dan menceritakan niat saya ini. Saya
sedih, karena orang tua, dan saudara- saudara saya justru tidak ada yang
mendukung niat saya untuk berhenti berkerja. Sesuai dugaan saya, mereka
malah membanding-bandingkan pekerjaan suami saya dengan yang lain.”
Aku masih terdiam, bisu mendengar keluh kesahnya. Subhanallah, apa aku bisa seperti dia? Menerima sosok pangeran apa adanya, bahkan rela meninggalkan pekerjaan.
“Kak, bukankah kita harus memikirkan
masa depan ? Kita kerja juga kan untuk anak-anak kita kak. Biaya hidup
sekarang ini mahal. Begitu banyak orang yang butuh pekerjaan. Nah kakak
malah pengen berhenti kerja. Suami kakak pun penghasilannya kurang.
Mending kalo suami kakak pengusaha kaya, bolehlah kita santai-santai aja
di rumah.
Salah kakak juga sih, kalo mau jadi ibu rumah tangga, seharusnya nikah
sama yang kaya. Sama dokter muda itu yang berniat melamar kakak duluan
sebelum sama yang ini. Tapi kakak lebih milih nikah sama orang yang
belum jelas pekerjaannya. Dari 4 orang anak bapak, Cuma suami kakak yang
tidak punya penghasilan tetap dan yang paling buat kami kesal,
sepertinya suami kakak itu lebih suka hidup seperti ini, ditawarin kerja
di bank oleh saudara sendiri yang ingin membantupun tak mau, sampai
heran aku, apa maunya suami kakak itu”.
Ceritanya kembali mengalir,
menceritakan ucapan adik perempuannya saat dimintai pendapat.
“Anti tau, saya hanya bisa menangis saat
itu. Saya menangis bukan karena apa yang dikatakan adik saya itu benar,
Demi Allah bukan karena itu. Tapi saya menangis karena imam saya sudah
DIPANDANG RENDAH olehnya. Bagaimana mungkin dia meremehkan setiap tetes
keringat suami saya, padahal dengan tetesan keringat itu, Allah
memandangnya mulia ?
Bagaimana mungkin dia menghina orang yang senantiasa membangunkan saya untuk sujud dimalam hari ?
Bagaimana mungkin dia menghina orang yang dengan kata-kata lembutnya selalu menenangkan hati saya ?
Bagaimana mungkin dia menghina orang yang berani datang pada orang tua saya untuk melamar saya, saat itu orang tersebut belum mempunyai pekerjaan ?
Bagaimana mungkin seseorang yang begitu saya muliakan, ternyata begitu rendah di hadapannya hanya karena sebuah pekerjaaan ?
Saya memutuskan berhenti bekerja, karena
tak ingin melihat orang membanding-bandingkan gaji saya dengan gaji
suami saya. Saya memutuskan berhenti bekerja juga untuk menghargai
nafkah yang diberikan suami saya.
Saya juga memutuskan berhenti bekerja
untuk memenuhi hak-hak suami saya. Saya berharap dengan begitu saya tak
lagi membantah perintah suami saya. Mudah-mudahan saya juga ridho atas
besarnya nafkah itu.
Saya bangga dengan pekerjaan suami saya
ukhty, sangat bangga, bahkan begitu menghormati pekerjaannya, karena tak
semua orang punya keberanian dengan pekerjaan seperti itu.
Disaat kebanyakan orang lebih memilih
jadi pengangguran dari pada melakukan pekerjaan yang seperti itu. Tetapi
suami saya, tak ada rasa malu baginya untuk menafkahi istri dengan
nafkah yang halal. Itulah yang membuat saya begitu bangga pada suami
saya.
Suatu saat jika anti mendapatkan suami
seperti suami saya, anti tak perlu malu untuk menceritakannya pekerjaan
suami anti pada orang lain. Bukan masalah pekerjaannya ukhty, tapi
masalah halalnya, berkahnya, dan kita memohon pada Allah, semoga Allah
menjauhkan suami kita dari rizki yang haram”. Ucapnya terakhir, sambil
tersenyum manis padaku.
Dan dia mengambil tas laptopnya,
bergegas ingin meninggalkanku. Kulihat dari kejauhan seorang laki-laki
dengan menggunakan sepeda motor butut mendekat ke arah kami, wajahnya
ditutupi kaca helm, meskipun tak ada niatku menatap mukanya. Sambil
mengucapkan salam, wanita itu meninggalkanku.
Wajah itu tenang sekali, wajah seorang istri yang begitu ridho.
Ya Allah…. Sekarang giliran aku yang menangis. Hari ini aku dapat pelajaran paling berkesan dalam hidupku.
Pelajaran yang membuatku menghapus sosok pangeran kaya yang ada dalam benakku..
Subhanallah... Walhamdulillah... Wa Laa ilaaha illallah… Allahu Akbar
-----------------------------------------------------------------