Pada hari Senin kemarin (19 Desember 2016), Bank Indonesia secara resmi memperkenalkan desain uang baru yang akan beredar di negara ini. Uang baru tersebut terdiri dari tujuh pecahan uang kertas dan enmpat pecahan uang logam. Berbagai foto pahlawan dari berbagai daerah Nusantara dipilih untuk menghiasi uang baru tersebut. Ada beberapa yang dipertahankan seperti warna tiap pecahan dan foto Soekarno-Hatta yang dipampang dalam uang pecahan Rp. 100.000, tetapi secara garis besar, banyak perubahan yang dilakukan BI sehingga mata uang yang sekarang mempunyai kesan yang berbeda dibandingkan dengan desain uang kita sebelum-belumnya.
Yang tak kalah menariknya dari uang baru ini adalah keputusan untuk menampilkan foto-foto pahlawan dari berbagai daerah Indonesia. Dari ujung barat Indonesia, ada Tjut Nyak Meutia, pahlawan dari tanah Aceh yang menghiasi pecahan uang Rp. 1000. Dan dari ujung timur Indonesia, Papua, ada pahlawan Frans Kaisiepo pada pecahan uang Rp. 10.000.
Lalu siapa yang mewakili pahlawan dari tanah Kalimantan?
Yang mewakilinya adalah salah seorang pahlawan nasional yang bernama Dr. KH. Idham Chalid.
Siapakah beliau?
Tak banyak memang pahlawan nasional yang secara resmi telah ditetapkan oleh pemerintah. Bahkan dari Kalimantan Selatan sendiri baru 3 orang yang diangkat namanya sebagai pahlawan nasional. Ketiga nama tersebut adalah Brigjen H. Hasan Basry, Pangeran Antasari dan yang terakhir Dr. KH. Idham Chalid.
Tidak seperti 2 nama pertama, KH. Idham Chalid cenderung tak begitu diketahui oleh khalayak banyak, bahkan oleh masyarakat Kalimantan Selatan sendiri. Tentunya dengan pemilihan beliau yang menghiasi tampilan uang pecahan Rp. 5.000, akan membuat nama beliau semakin terkenal oleh rakyat Indonesia pada umumnya dan yang terkhusus, dikenal oleh masyarakat tempat beliau berasal, Kalimantan Selatan.
KH. Idham Chalid lahir di Satui, bagian tenggara Kalimantan Selatan pada 27 Agustus 1927 silam. Beliau merupakan lulusan dari Gontor pada tahun 1943. Pada saat itu tentu saja seperti yang kita ketahui, Indonesia sedang dijajah oleh Jepang. Idham Chalid yang masih muda saat itu memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke Jakarta, dan dikarenakan kefasihannya dalam berbahasa Jepang, beliau sering kali diminta sebagai penterjemah di berbagai pertemuan.
Beliau selama dalam masa perjuangan tidak hanya aktif berjuang ke dalam badan-badan perjuangan, tetapi beliau juga tercatat pernah bergabung di Sentral Organisasi Pemberontak Indonesia Kalimantan yang dikomandoi oleh murid beliau, Brigjen H. Hasan Basry pada tahun 1947 melawan invasi tentara Belanda.
Beliau merupakan ulama NU dan pernah menjabat sebagai ketua umum PBNU dengan masa jabatan selama 28 tahun. Beliaulah yang sampai saat ini dikenal sebagai pimpinan NU dengan masa pengabdian terlama. Dikatakan, beliau juga lah yang bisa membawa NU melewati masa-masa pelik sehingga bisa membuat organisasi NU kuat seperti yang kita kenal sekarang. Beliau adalah pemimpin yang berkarakter kuat dan tidak kaku terhadap perbedaan.
Beliau sangat menerima perbedaan, selama perbedaan itu bukanlah sesuatu yang salah, masih dalam lingkup persaudaraan. Salah satu bukti ketidakkakuannya beliau tersebut, ditulis abadi dalam peristiwa ketika KH. Idham Chalid bertemu dengan Buya Hamka.
Syahdan, dulu KH. Idham Chalid (Pimpinan PBNU) pernah satu kapal
dengan Buya Hamka (tokoh Muhammadiyah) dengan tujuan yang sama menuju
tanah suci Makkah untuk melaksanakan ibadah haji. Tidak ada kisah
istimewa dari kedua tokoh berbeda paham tersebut hingga waktu shalat
Shubuh menjelang.
Di saat hendak melakukan shalat Shubuh berjamaah, KH. Idham Chalid
dipersilakan maju untuk mengimami. Secara tiba-tiba, pada rakaat kedua,
KH. Idham Chalid meninggalkan praktek Qunut Shubuh, padahal Qunut Shubuh
bagi kalangan NU seperti suatu kewajiban. Semua makmun mengikutinya
dengan patuh. Tak ada nada protes yang keluar walau ada yang mengganjal
di hati.
Sehingga seusai salat Buya Hamka bertanya: “Mengapa Pak Kyai Idham Chalid tidak membaca Qunut.”
Jawab KH. Idham Chalid: “Saya tidak membaca doa Qunut karena yang
menjadi makmum adalah Pak Hamka. Saya tak mau memaksa orang yang tak
berqunut agar ikut berqunut.”
Keesokan harinya, pada hari kedua, Buya Hamka yang giliran mengimami
shalat Shubuh berjamaah. Ketika rakaat kedua, mendadak Buya Hamka
mengangkat kedua tangannya, beliau membaca doa Qunut Shubuh yang panjang
dan fasih. Padahal bagi kalangan Muhammadiyah, Qunut Shubuh hampir tidak
pernah diamalkan.
Seusai shalat, KH. Idham Chalid pun bertanya: “Mengapa Pak Hamka tadi membaca doa Qunut Shubuh saat mengimami salat?”
“Karena saya mengimami Pak Kyai Idham Chalid, tokoh NU yang biasa berqunut saat shalat Shubuh. Saya tak mau memaksa orang yang berqunut untuk tidak berqunut,” jawab
Buya Hamka merendah.
------------------------------------------
Begitulah profil singkat dan kisah perjalanan hidup beliau yang sangat menginspirasi dan penuh pelajaran didalamnya. Semoga dengan terpilihnya beliau dalam desain mata uang uang baru ini tidak hanya sebagai "penghias" yang kosong maknanya. Tetapi juga sebagai sebagai pengingat akan jasa beliau sehingga kita semakin menghargai jasa dan pengorbanan beliau.
KH. Idham Chalid meninggal akibat sakit yang dideritanya. Beliau menghembuskan nafas terakhirnya di Jakarta pada 11 Juli 2010 di umurnya yang ke 88 tahun.
Al-Fatihah
-------------------------------------------------
Sumber : 1 2 3
0 comments:
Post a Comment