Cinta
negeri sama halnya cinta jiwa dan harta; merupakan tabiat dan fithrah
manusia. Seluruh manusia berperan serta dalam kecintaan ini, baik dia
kafir maupun mukmin.
Allah berfirman:
وَلَوْ أَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ أَنِ
اقْتُلُوا أَنفُسَكُمْ أَوِاخْرُجُوا مِن دِيَارِكُم مَّافَعَلُوهُ إِلاَّ
قَلِيلُُ مِّنْهُمْ
“Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka:”Bunuhlah
dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu”, niscaya mereka tidak akan
melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka”” (QS. An-Nisa’: 66).
Ayat ini menunjukkan bahwa orang-orang kafir juga mencintai tanah air mereka.
Bahkan di dalam Islam, jika negeri kita diserang musuh, wajib bagi
kita untuk jihad membela negeri dari serangan tersebut. Apalagi, jika
negeri tersebut memiliki keistimewaan, maka mencintainya adalah sebuah
ibadah seperti Mekkah dan Madinah.
Namun jika cinta negeri bertentangan dengan agama seperti hijrah dan
jihad, sehingga dia lebih mendahulukan cinta negeri daripada agama maka
hukumnya haram. Allah mengancam orang-orang yang tidak hijrah karena
lebih mencintai kampung halaman mereka.
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ
الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا
كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ
اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ
وَسَاءَتْ مَصِيرًا إِلَّا الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ
وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ لَا يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلَا يَهْتَدُونَ
سَبِيلًا
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan
menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: “Dalam
keadaan bagaimana kamu ini?”. Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang
yang tertindas di negeri (Mekah)”. Para malaikat berkata: “Bukankah bumi
Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?”.
Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas baik
laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya
dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah)” (QS. An-Nisa’: 97-98).
Walau cinta negeri tidak tercela, namun tidak boleh kita membuat dan berpegang dengan hadits palsu :
حُبُّ الْوَطَنِ مِنَ الإِيْمَانِ
“Cinta tanah air termasuk iman”.
Al Mulla Al Qari berkata: “Tidak ada asalnya menurut para pakar ahli hadits”. Lajnah Daimah yang diketahui oleh Samahatus Syaikh
Abdul Aziz bin Baz mengatakan: “Ucapan ini bukan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia hanyalah ucapan yang beredar di
lisan manusia lalu dianggap sebagai hadits”.
Musuh-musuh Islam ingin menjadikan hadits palsu ini tuk menghilangkan
syi’ar agama dalam masyarakat dan menggantinya dengan syi’ar
kebangsaan, padahal aqidah seorang mukmin lebih berharga baginya dari
segala apapun.
Dan agar kecintaan negeri kita tidak sia-sia tanpa pahala, maka
hendaknya kita menata niat dalam kecintaan dan pembelaan kita kepada
negeri kita, yaitu hendaknya untuk Allah, untuk Islam, bukan sekedar
untuk kebangsaan dan nasionalisme semata.
Syaikh Muhammad al-Utsaimin berkata:
"Kita apabila perang hanya untuk membela negara tidak ada bedanya
dengan orang kafir yang juga perang untuk membela negara mereka.
Seorang yang perang hanya untuk membela negeri saja maka dia bukanlah
syahid, namun kewajiban kita sebagai muslim dan tinggal di negeri Islam
adalah untuk perang karena Islam yang ada di negeri kita.
Perhatikanlah baik-baik perbedaan ini, kita berperang karena Islam yang ada di negeri kita.
Adapun sekadar karena negeri saja maka ini adalah niat bathil yang
tidak berfaedah bagi seorang. Adapun ungkapan yang dianggap hadits
“cinta negeri termasuk keimanan” maka ini adalah dusta.
Cinta negara, apabila karena negara tersebut adalah Negara Islam
maka kita mencintainya karena Islamnya, tidak ada bedanya apakah negara
kelahiran kita ataukan Negara Islam yang jauh, maka wajib bagi kita
untuk membelanya karena negara Islam.
Kesimpulannya, seharusnya kita mengetahui bahwa niat yang benar
tatkala perang adalah untuk membela Islam di negeri kita atau membela
negara kita karena negara Islam, bukan hanya karena sekedar Negara
saja”.
----------------------------------------------------
Wallahu ta’ala a’lam.
Sumber
0 comments:
Post a Comment