Sejak zaman dahulu lintas perhubungan antara
Nagara dan Banjarmasin
lebih banyak dilakukan melewati jalur sungai. Jalur perhubungan yang
relatif lebih aman dan mudah dibanding lewat darat. Hal tersebut membuat
ruang mobilitas orang-orang pergerakan di
Nagara lebih terbuka dalam
menjalin komunikasi dengan tokoh-tokoh di Banjarmasin.
Setelah Jepang menyerah, tentaranya yang semula ditempatkan di
Nagara
ditarik ke Kandangan. Di bekas asrama tentara Jepang yang terletak di
kampung Tambak Bitin, 25 September 1945, dilangsungkan pertemuan para
pemimpin pergerakan di daerah
Nagara. Menyikapi berita kemerdekaan yang
telah diperoleh, dibentuklah suatu badan bernama
PPRIM (Panitia
Persiapan Republik Indonesia Merdeka). Badan ini dimaksudkan untuk
mempersiapkan dan melancarkan jalannya perjuangan serta pemerintahan.
PPRIM dipimpin oleh M. Umar Rasjid dan Barak Djuhri, dilengkapi dengan penulis, bendahara, pembantu-pembantu,
bidang agama, keamanan, pemuda dan propaganda/penerangan.
Selain membentuk
PPRIM, juga dibentuk KNI (Komite Nasional Indonesia)
Daerah
Nagara. Ketuanya adalah M. Tauran dan Wakil Ketua M. Umar Rasjid.
Pada bulan Oktober 1945 atas prakarsa
PPRIM, dilakukanlah pengibaran bendera Merah Putih dan dikumandangkan nyanyian Indonesia Raya di halaman kantor Kyai Wedana M. Yusran. Bersama dengan 40 orang lainnya, inilah tonggak awal mula pengambilalihan kekuasaan di
Nagara sejak Jepang diusir dari tanah Kalimantan. Kemudian eskpedisi pertama beranggotakan 9 orang yang diutus oleh
Bung Tomo, tiba di
Nagara dan membentuk pemerintahan. Kesembilan orang tersebut adalah H. Ahmad selaku ketua, H. burhan, H. Asnawi, H. Maran, Jambran, Jaderi, Atu dan Abdul Manaf yang semuanya warga
Nagara serta H. Muradi yang berasal dari Amuntai.
Mereka semua bersama dengan para pejuang setempat berunding dan mengupayakan untuk mengantisipasi invasi dari pihak luar yang bisa merusak kemerdekaan, dalam hal ini adalah antisipasi terhadap kedatangan pasukan Belanda. Walaupun suhu politik mulai memanas, namun kondisi di
Nagara sendiri relatif tenang hingga tahun 1947. Walaupun tentara Belanda sudah masuk ke
Nagara, tetapi keberadaan mereka belum menyulut konflik dengan masyarakat kecuali hanya insiden-insiden kecil.
Pada akhir tahun 1948, residen Belanda di Banjarmasin, AG Deelman, mengirim tokoh diplomasi Belanda bernama Vaan der Plaas ke
Nagara. Kedatangan diplomat Belanda tersebut bermaksud untuk membujuk ulama besar Nagara,
KH. Muhammad Djaktar, agar "menjinakkan" masyarakat
Nagara saat itu dengan harapan masyarakat tidak melakukan pemberontakan. Segala macam suap juga diikutsertakan dalam diplomasi tersebut, termasuk diantaranya pemberian jabatan, uang dan mobil mewah. Bujuk rayu tersebut tentu saja ditolak oleh
KH. Djakfar dengan halus.
Meletusnya Perang
Perang terbuka dengan Belanda di Nagara pada mulanya terjadi karena seorang pejuang, Alidin, pada tanggal 2 Januari 1949 dipanggil oleh
Polisi Kilat Belanda untuk menyerahkan senjata-senjata yang kelak akan diserahkan kepada pasukan republik. Ternyata Belanda malah berkhianat dengan menangkap Alidin karena dianggap mengorganisir perlawan rakyat terhadap Belanda. Mengetahui hal tersebut, Pambakal Arpan (orangtua Alidin) mengomandoi para pemuda untuk berkumpul di desa Hamayung dan melakukan penyerangan ke markas
Polisi Kilat Belanda di desa seberang sungai, Tambak Bitin. Tak kurang puluhan ribu rakyat ambil bagian dalam penyerbuan itu, bukan hanya rakyat
Nagara yang hadir, akan tetapi pemuda-pemuda dari daerah sekitar juga turut serta berhadir. Turut serta dalam pertempuran ini pelatih kemiliteran dan penghubung markas ALRI Divisi IV (A) pertahanan Kalimantan, Lambran Ladjim. Beliau memimpin pasukan dari desa Pakan Dalam yang langsung berhadapan dengan pasukan Belanda di Tambak Bitin.
Walau saat itu rakyat Nagara mempunyai peralatan perang yang kalah canggih dan banyak dibandingkan kubu musuh, akan tetapi semangat jihad mereka tetap berkobar. Hanya sedikit senjata api yang saat itu mereka punyai, sisanya berjuang dengan pedang, tombak dan mandau. Walaupun kalah modern, tetapi peperangan tidak berat sebelah. Peperangan bahkan berlangsung dari waktu Ashar hingga Subuh menjelang.
Akan tetapi penyerbuan tersebut tidak sukses. Para pejuang gagal mengambil alih Tambak Bitin dari Belanda. Diduga kegagalan tersebut dikarenakan pejuang yang bertugas untuk memutus kabel telepon tidak berhasil sehingga pihak Belanda masih bisa melakukan komunikasi dan dapat meminta bantuan. Para pejuang
Nagara saat itu memutuskan mundur untuk menghindari jatuhnya korban yang lebih banyak. Tidak diketahui pasti berapa jumlah korban yang gugur pada saat itu, baik dari pihak pejuang
Nagara ataupun dari pihak Belanda.
Dampak Peperangan 2 Januari
Walau peperangan yang terjadi di Nagara tidak berakhir tuntas dengan kemenangan dipihak pejuang, akan tetapi dampaknya sangat signifikan terhadap perjuangan selanjutnya.
Memang semenjak peperangan tersebut, pihak Belanda semakin beringas dengan menangkapi semua orang yang dianggap berbahaya. Bahkan Belanda juga sampai merampas harta benda pihak-pihak yang diduga sebagai penyandang dana para pejuang. Akan tetapi rakyat tidak tinggal diam. Mereka juga melakukan perlawanan dengan memblokade ekonomi Belanda dengan cara tidak melakukan segala aktivitas jual beli dengan Belanda.
Begitu juga didaerah lain. Perjuangan mempertahankan kemerdekaan semakin gigih dilakukan di berbagai daerah. Para pejuang banyak belajar dari peristiwa
2 Januari 1949 di Nagara. Perlawanan-perlawanan gencar yang dilakukan oleh rakyat Kalimantan Selatan tentu saja membuat lelah pihak Belanda. Hingga pada akhirnya pada tanggal 2 September 1949, Belanda mengajukan gencatan senjata dan bersepekata untuk melakukan pengambilalihan kekuasaan dari pihak Belanda kepada pemerintah Indonesia.
Dengan ini Belanda pun terusir dari Indonesia.
Nagara Sekarang
Dengan kemajuan teknologi dan semakin modernnya dunia sekarang, banyak yang lupa siapa yang membuat kita bisa hidup tenang sekarang. Banyak yang terlena dengan hingar bingar gemerlapnya dunia. Banyak yang tersesat.
Padahal tempat kita berpijak ini dulu diperjuangkan oleh para pahlawan kita dengan darah dan nyawa. Tujuan mereka hanya satu, mengusir siapapun penjajah dari bumi pertiwi agar anak cucu mereka kelak bisa hidup dengan damai.
Oleh karena pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Selatan, dimana wilayah
Nagara berada, secara rutin menyelenggarakan upacara peringatan
Perang Kemerdekaan 2 Januari 1949 di Desa Hamayung, Daha Utara.
Bupati HSS Drs. H. Achmad Fikry Menyampaikan Sambutan Pada Upacara Peringatan Perang 2 Januari 1949 di Hamayung
Tujuan dari semua itu agar kita, generasi yang memegang masa depan negara ini, tidak lupa dengan sejarah kita.
JAS MERAH. Jangan Sekali-Kali Melupakan Sejarah.
Dan mari kita isi kemerdekaan ini dengan semangat pembangunan, semangat gotong royong. Karena negara ini tak bisa tegak berdiri hanya oleh satu orang, tapi oleh semua orang.
Wassalam.