Sultan Sulaiman
Al-Qanuni adalah sultan Turki Utsmani yang paling lama memerintah
diantara para sultan-sultan lainnya. Ia bertahta selama 46 tahun dengan
prestasi yang luar biasa. Salah satu jasanya adalah memperkuat peraturan
(Qanun) Daulah Turki Utsmani (Ottoman) dengan mengadaptasi dari
Al-Qur’an dan as Sunnah. Karena jasanya itulah ia dijuluki Al-Qanuni.
Ia dikenal beramal sholeh, banyak berpuasa, qiyamul lail, dan
keadilannya terhadap masyarakat, termasuk kepada semut sekalipun.
Perhatikanlah bagaimana ia mengakhiri hidupnya , karena akhir kematian
seseorang adalah akumulasi dari kehidupannya.
Ketika ia mendengar salah satu Negara bagian kekuasaan Ottoman
mendapatkan serangan dari raja Austria, maka ia memutuskan langsung
ekspansi ke jantung Austria Kota Wina (Ibu Kota Austria) sedangkan ia
dalam keadaan sakit keras, para dokter istana menasihatinya agar ia
mengurungkan niatnya untuk memimpin sendiri demi kesehatannya
Namun
Al-Qanuni menolaknya seraya berkata, “Sungguh aku berharap mati Syahid di medan jihad.”
Maka tak ada pilihan lain kecuali mengikuti titah Sang Sultan, tentara
memikul Al-Qanuni ke medan jihad karena ia nyaris tak bisa bergerak
karena sakit keras
Ketika pasukan Muslimin sampai ke Benteng Szigetvar (sekarang di
Hungaria) yang merupakan salah satu benteng terkuat di dunia saat itu,
berkecamuklah perang antara kaum muslimin dengan pasukan Kristen.
Kokohnya Benteng Szigetvar nyaris membuat tentara islam putus asa
setelah berperang selama 5 bulan. Dalam suasana putus asa para tentara
itu terdengar lantunan do’a Sultan Sulaiman Al-Qanuni agar Allah
Subhanahu Wata’ala memberikan kemenangan kepada kaum muslimin.
Kemudian para tentara Islam mengerahkan sisa-sisa tenaganya untuk menguasai benteng itu, dengan izin Allah Subhanahu Wata’ala dan
semangat jihad yang tulus pasukan Islam akhirnya mampu memenangkan
pertempuran dan menguasai Benteng Szigetvar yang legendaris itu.
Ketika Sultan Sulaiman Al-Qanuni mendengar kabar bahwa benteng sudah ditaklukan dan bendera Islam sudah berkibar di atasnya beliau berkata, "Sekaranglah saatnya kematian yang menyenagkan itu datang."
Kemudian suara itu hilang pelan-pelan dan sang Sultan “The Magnificent” Sulaiman meninggal ditempat dan susasan yang ia cintai,yaitu Jihad Fi Sabilillah!
Ketika berita kematian Sultan Sulaiman sampai kepada Muslimin, maka
seluruh penjuru Negara Islam dihujani tangisan kesedihan, bukan karena
tidak menerima ketentuan Allah Subhanahu Wata’ala, tapi karena cinta itu sudah memenuhi jiwa mereka selama 46 tahun.
Suasana berbeda terjadi di Barat, mereka bersuka ria atas kematian Sultan yang mereka sendiri memberikan julukan The Magnificent atau sang fenomenal kepadanya, lonceng-lonceng dibunyikan, dan mereka jadikan hari itu hari bersejarah buat mereka.
Di tengah-tengah pemakaman Sultan Sulaiman, terdengar wasiat bahwa
sebelum kematiannya beliau meminta dikuburkan dengan sebuah kotak yang
terkunci miliknya, keluarga dan orang terdekatnya tidak berani membuka
apa isi kotak itu gerangan. Para ulama khawatir jika yang ada dalam kotak itu adalah intan berlian
yang haram dikubur bersama jasad mayat, maka akhirlah sepakatlah para
ulama untuk membuka kotak itu.
Setelah dibuka, ternyata yang ada dalam kotak itu adalah kumpulan
kertas-kertas usang yang merupakan fatwa-fatwa para mufti dan ulama,
karena ia dikenal tidak berani membuat suatu peraturan kecuali meminta
fatwa dari para mufti daulah dan para ulama.
Salah satu fatwa yang ada dalam kotak tersebut adalah permintaan Sultan
Sulaiman kepada Mufti Daulah Utsmaniyah saat itu Abi Sa’ud Afandi untuk
menjelaskan tentang hukum meletakan kapur di ranting-ranting pohon di
istana kekhalifahan agar semut tidak masuk, menyebar dan mengotori
istana. Kapur-kapur ini bisa jadi membunuh semut-semut itu.
Maka Abi Sa’ud Afandi saat itu memfatwakan bolehnya pemakaian kapur itu agar semut-semut tidak menyebar ke Istana.
Setelah membaca lembaran fatwa itu Mufti Abi Sa’ud Afandi menangis tersedu-sedu seraya berkata, “Engkau telah menyelamatkan dirimu Wahai Sulaiman, Engkau telah
menyelamatkan dirimu Wahai Sulaiman, langit yang mana yang akan
menaungiku? Dan bumi yang mana yang menerima kami semua jika kami
salah dalam fatwa –fatwa kami?”
0 comments:
Post a Comment