Sunday, August 9, 2020

Jargon Baru BKKBN - 2 Anak Lebih Sehat

Dalam sejarahnya, BKKBN telah mengalami berbagai banyak perubahan. Dari perubahan nama yang dulunya akronim dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional menjadi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, diikuti dengan berbagai perubahan lainnya. Per tahun 2020 sendiri, banyak perubahan juga yang terjadi dibawah kepemimpinan dr. Hasto Wardhoyo selaku Kepala BKKBN. Yang paling fundamental tentu saja perubahan logo.

 

Perubahan logo yang sekarang tentunya terlihat lebih trendi, modern dan dinamis, sebagai upaya dari BKKBN semakin mendekatkan diri dengan Generasi Milenial yang mempunyai proporsi terbesar dalam piramida kependudukan.

Selain itu, jargon BKKBN pun dibuat baru agar bisa lebih diterima oleh masyarakat. Bila menilik ke belakang, maka ada beberapa kali BKKBN mengubah jargonnya, yaitu :

- Dua Anak Lebih Baik

- Dua Anak Cukup

- Dua Anak Cukup, Bahagia Sejahtera

- Bila Terencana, Semua Jadi Lebih Mudah

dan yang terbaru :

- Berencana Itu Keren, Dua Anak Lebih Sehat

Dengan perubahan ini, maka petugas lini lapangan (Penyuluh KB dan PLKB) serta kader IMP (Institusi Masyarakat Perdesaan/Perkotaan) memulai strategi baru untuk melakukan KIE ke masyarakat dengan berbagai media, seperti pada X Banner dibawah ini :

X Banner ini dengan mengutamakan isi pesan jumlah 2 anak yang lebih sehat dengan jarak antar anak yang terjaga dengan menggunakan Alat dan Obat Kontrasepsi (alokon). Adapun Alokon yang ditampilkan dalam media ini adalah Implan dan IUD yang merupakan metode kontrasepsi jangka panjang sehingga dirasa lebih cocok menjaga jarak kehamilan di masa pandemi Covid-19 karena tidak perlu sang akseptor berulang kali ke faskes seperti halnya apabila dia menggunakan Pil atau Suntik KB.

Akhir kata, seperti kata pepatah bijak "Bila ada yang abadi di dunia ini, maka itu adalah perubahan"

BKKBN pun berubah, mengikuti perkembangan zaman, menyesuaikan eksestensi milenial agar kehadirannya semakin diterima

Mengenal 21 dan 25 Untuk Pencegahan Pernikahan Dini

Indonesia masih terkendala dalam memperbaiki Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Salah satu yang sangat berperan menghambat perbaikan adalah adalah bidang kesehatan dimana angka kesakitan dan kematian ibu yang masih tinggi. Tingginya angka kesakitan dan kematian ibu ini juga diperparah dengan masih tingginya angka persentase pernikahan dini di Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka 15,66% untuk persentase pernikahan dini di Indonesia pada 2018. Angka tersebut meningkat dari 14,18% pada 2017.  

Berdasarkan data BPS, mereka yang digolongkan pernikahan dini adalah perempuan yang menikah pertama di usia 16 tahun atau kurang. Dari catatan BPS, provinsi dengan jumlah persentase pernikahan muda tertinggi adalah Kalimantan Selatan sebanyak 22,77%, Jawa Barat (20,93%), dan Jawa Timur (20,73%).(sumber)

Pemerintah sendiri dalam hal ini telah mengambil berbagai langkah agar pernikahan dini tidak semakin marak terjadi. Revisi UU Perkawinan pun dilakukan yang mana dulunya batas ambang bawah usia menikah pada perempuan adalah 16 tahun dan laki-laki 19 tahun, sekarang berubah dengan usia menikah minimal 19 tahun baik untuk laki-laki ataupun perempuannya.

Akan tetapi tentu saja kondisi tersebut masih belum kondisi yang ideal, akan tetapi cukup kita syukuri karena paling tidak sudah ada progres untuk upaya perlindungan hak reproduksi, utamanya untuk perempuan. Namun yang perlu kita pahami semua, perubahan peraturan saja tidak cukup. Karena perubahan peraturan tanpa dibarengi dengan peningkatan pengetahuan, maka akan cenderung membuat gejolak penolakan di masyarakat.

Oleh karenanya BKKBN dalam hal ini senantiasa memberikan edukasi dan penyuluhan agar masyarakat memahami kenapa kita perlu melakukan upaya pencegahan pernikahan dini. Dalam programnya, BKKBN menamakannya dengan GenRe yang merupakan akronim dari Generasi Berencana. Program GenRe ini mengajak kawula muda untuk merencanakan masa depannya, termasuk juga merencanakan kapan mereka menikah.

Mengambil angka 21 untuk perempuan dan 25 untuk laki-laki yang menjadi usia ideal menikah pun dipilih dengan berbagai pertimbangan, baik itu dari segi kesehatan, psikologis, emosi, ekonomi dan lain hal sebagainya. BKKBN pun mengajak semua pihak untuk menyebarkan isi pesan ini dan dengan kearifan lokal masing-masing. Seperti contohnya Kalimamntan Selatan, selain tetap menyuarakan isi pesan 21 25, mereka juga menambahkan jargon "Sakulah, Kulian, Sarjana, Bagawi, hanyar Kawin" yang bila di artikan dalam Bahasa Indonesia berarti "Sekolah, Kuliah, Sarjana, Bekerja, baru kemudian Menikah"