Thursday, June 22, 2017

Review Film - The Green Mile (1999)


"Like the drink, only not spelled the same"

Siapa yang berani meragukan novel-novel karya Stephen King? Karya-karya yang pernah dibuatnya selalu saja menimbulkan kesan yang baik bagi penikmat film. Sebut saja The Shining (1980), Children of the Corn (1984), atau film yang dianggap sebagai film terbaik yang pernah dibuat, Shawshank Redemption (1994).

Dan siapa pula yang meragukan akting seorang Tom Hanks? Dua kali penghargaan sebagai Aktor Terbaik yang ia terima pada tahun 1993 melalui film Philadelphia dan ketika tahun 1994 melalui film fenomenal yang berjudul Forrest Gump, sudah cukup membuktikan dirinya adalah salah satu aktor kelas wahid dimasanya.

Maka bayangkan aktor yang dianggap sebagai yang terbaik di era 1990'an mendapatkan peran utama dari sebuah novel yang juga dikarang oleh penulis fenomenal di era tersebut. Tentu lah kepastian sebuah mahakarya berbentuk film yang hadir dibenak kita. Dan semua itu terwujud ketika  sebuah film yang tayang pada tahun 1999 silam, yang berjudul The Green Mile.

*Warning... Spoiler Alert

--------------------------------------------------------------------------

Sinopsis singkat :

The Green Mile adalah kisah yang menceritakan tentang seorang sipir bernama Paul Edgecomb (diperankan Tom Hanks) yang ditugaskan menjaga Blok E yang merupakan blok dimana narapidana hukuman mati menunggu waktu eksekusi mereka. Paul bekerja bersama rekan-rekannya lainnya yaitu Brutus "Brutal" Howell (David Morse), Dean Stanton (Barry Pepper), Harry Terwilliger (Jeffrey DeMunn) serta si tukang pembuat masalah Percy Wetmore (Doug Hutchison). Tugas mereka adalah menjaga narapidana (utamanya psikologis mereka) sebelum mereka semua dieksekusi di kursi listrik yang dijuluki Old Sparky. Sedangkan Green Mile sendiri adalah sebutan untuk lantai berwarna hijau yang menjadi jalan narapidana sebelum memasuki ruangan dimana Old Sparky berada.


Film ini berlatar belakang masa kelam Amerika Serikat yang terkenal dengan sebutan Depresi Besar. Dengan latar belakang itu maka tak heran, penghuni Blok E ini pun menjadi beraneka ragam dengan latar belakang kejahatan yang beragam pula. Bagi Paul dan yang lainnya, pekerjaan ini berjalan normal seperti biasanya. Dengan diselingi kelakuan semena-mena yang dilakukan oleh si bebal dan si sombong Percy, tapi bagi mereka, tugas untuk menjaga narapidana berjalan dengan lancar dan tanpa masalah berarti.

Tetapi semua berubah ketika suatu hari, Blok E kedatangan narapidana baru bernama John Coffey (diperankan oleh Michael Clarke Duncan). Sosok kulit hitam dengan tubuh luar biasa besar ini (hampir setinggi 2 meter), awalnya dikuatirkan menjadi ancaman keamanan bagi petugas di Blok E. Selain tubuhnya yang seperti raksasa, anggapan kulit hitam yang pada masa itu masih dianggap bermasalah, juga karena vonis hukuman mati yang dijatuhkan karena dia terbukti dipengadilan telah membunuh 2 orang anak perempuan.


Namun anggapan semua itu salah. Bahkan sosok John Coffey malah dianggap "polos" dan mempunyai kecendurungan tidak pernah melakukan kejahatan sebelumnya.

Pada akhirnya, hidup John Coffey memang harus berakhir di kursi listrik Old Sparky. Tetapi sebelum hal itu terjadi, rahasia menakjubkan pada sosok John Coffey akan membuat semua orang tercenang dan fakta bukan ia yang membunuh 2 anak perempuan tersebut akan membuat banyak orang menitikkan air mata dipenghujung film ini.

-------------------------------------------------

Film ini menurutku adalah salah satu film terbaik yang pernah ku tonton. Selain karena film ini dibintangi oleh aktor favoritku, Tom Hanks, sang sutradara Frank Darabonk juga cerdas dapat membawa kita sebagai penonton terlelap dalam alur cerita film ini. Tak ada ceritanya kita bakal bosan atau mengantuk ketika  melihat film ini. Semua alur berjalan dengan begitu saja dan kita hanya tinggal menikmatinya saja.

Setiap tokoh yang ada pun dibawakan oleh aktor-aktornya dengan baik. Tak ada tokoh yang tidak penting disini. Dan pemilihan Michael Clarke Duncan sebagai John Coffey adalah salah satu hal yang sangat tepat dalam film ini (sayang ia gagal memenangkan aktor pendukung terbaik pada tahun tersebut). Doug Hutchison pun memainkan sosok Percy dengan sangat-sangat baik (damn, aku benar-benar benci dengan sosoknya :D). Interaksi antar sipir dan narapidana serta lika likunya dalam penjara ini juga digambarkan dengan baik.


Tapi ada sedikit kekecewaan (atau lebih tepatnya tidak sesuai dengan yang dibayangkan) ketika menonton film ini.

Sebelum menonton film ini, aku memang sudah cukup sering mendengar dan membaca review tentang film ini. Tentu saja karena film ini adalah film lama, 18 tahun sudah berlalu sejak film ini pertama kali diputar. Dan review yang ku baca tentulah dengan spoiler yang ringan (lebih ringan dari sinopsis seperti yang ku buat diatas yang memuat ending film-nya). Saat aku membacanya, maka yang ada dalam pikirannya "wow film ini pasti bagus nih."

Dan memang bagus. Sangat bagus.

Yang ku sebut dengan tidak sesuai dengan yang dibayangkan adalah kenyataan bahwa film ini membuat unsur supranatural dalam kisahnya. Well, aku tadinya mengira ini adalah film yang realistik tanpa ada unsur supranatural atau mistik ataupun keajaiban-keajaiban yang tidak bisa dinalar oleh akal manusia.

Disanalah letak kekecewaanku. Tadinya berharap fakta John Coffey yang tidak bersalah bisa diketahui oleh Paul Edgecomb secara "normal". Sayang itu tidak terjadi dan itu membuat aku sedikit mengernyitkan dahi. Yah mungkin aku sendiri yang salah karena sangat mengharapkan film ini berakhir seperti drama tragis pada umumnya.

Tapi memang itulah inti dari kisah ini. Film ini bukan kisah seperti Shawshank Redemption yang Darabonk buat sebelumnya. Kisah film ini adalah tentang keajaiban. Dan kita sebagai manusia haruslah tetap percaya dengan keajaiban-keajaiban itu.


Oke, mungkin itu saja dariku.
Sahabat-sahabat belum menontonnya?
Segeralah menontonnya karena film ini sangat bagus dan memuat pesan mendalam yang sangat sayang apabila dilewatkan.

0 comments:

Post a Comment