Wednesday, June 29, 2016

Tariq bin Ziyad - Sang Penakluk Andalusia


Salah satu pahlawan besar Islam yang banyak dikenang dan diingat orang adalah seorang panglima yang bernama Thariq bin Ziyad. Beliau adalah salah seorang panglima terbesar dalam sejarah Islam yang merupakan prajurit Kerajaan Umawiyah (Bani Umayyah). Setelah Musa bin Nushair membuka jalan pasukan Islam ke Eropa, Thariq bin Ziyad menyempurnakannya dengan menaklukkan Andalusia. Atas perintah Khalifah al-Walid bin Abdul Malik, Thariq membawa pasukan Islam menyeberangi selat Gibraltar menuju daratan Eropa dari sinilah sejarah bangsa Ifranji –sebutan untuk orang-orang Eropa- itu berubah.

Tulisan kali ini akan memaparkan kepada sahabat semua sedikit tentang perjalanan hidup Thariq bin Ziyad rahimahullah dan bagaimana upayanya menaklukkan tanah Andalusia.


Thariq bin Ziyad dilahirkan pada tahun 50 H atau 670 M di Kenchela, Aljazair, dari kabilah Nafzah. Ia bukanlah seorang Arab, akan tetapi seorang yang berasal dari kabilah Barbar yang tinggal di Maroko. Masa kecilnya sama seperti masa kecil kebanyakan umat Islam saat itu, ia belajar membaca dan menulis, juga menghafal surat-surat Alquran dan hadis-hadis.

Sebelum umat Islam menguasai Andalus, daratan Siberia itu dikuasai oleh seorang raja zalim yang dibenci oleh rakyatnya, yaitu Raja Roderick. Di sisi lain, berita tentang keadilan umat Islam masyhur di masyarakat seberang Selat Gibraltar ini. Oleh karena itu, orang-orang Andalusia sengaja meminta tolong dan memberi jalan kepada umat Islam untuk menngulingkan Roderick dan membebaskan mereka dari kezalimannya.

Segera setelah permintaan tersebut sampai kepada Thariq, ia langsung melapor kepada Musa bin Nushair untuk meminta izin membawa pasukan menuju Andalus. Kabar ini langsung disampaikan Musa kepada Khalifah al-Walid bin Abdul Malik dan beliau menyetujui melanjutkan ekspansi penaklukkan Andalus yang telah dirintis sebelumnya.


Pada bulan Juli 710 M, berangkatlah empat kapal laut yang membawa 500 orang pasukan terbaik umat Islam. Pasukan ini bertugas mempelajari bagaimana medan perang Andalusia, mereka sama sekali tidak melakukan kontak senjata dengan orang-orang Eropa. Setelah persiapan dirasa cukup dan kepastian kabar telah didapatkan, Thariq bin Ziyad membawa serta 7000 pasukan lainnya melintasi lautan menuju Andalusia.

Mendengar kedatangan kaum muslimin, Roderick yang tengah sibuk menghadapi pemberontak-pemberontak kecil di wilayahnya langsung mengalihkan perhatiannya kepada pasukan kaum muslimin. Ia kembali ke ibu kota Andalusia kala itu, Toledo, untuk mempersiapkan pasukannya menghadang serangan kaum muslimin. Roderick bersama 100.000 pasukan yang dibekali dengan peralatan perang lengkap segera berangkat ke Selatan menyambut kedatangan pasukan Thariq bin Ziyad.

Ketika Thariq bin Ziyad mengetahui bahwa Roderick membawa pasukan yang begitu besar, ia segera menghubungi Musa bin Nushair untuk meminta bantuan. Dikirimlah pasukan tambahan yang jumlahnya hanya 5000 orang.

Akhirnya pada 28 Ramadhan 92 H bertepatan dengan 18 Juli 711 M, bertemulah dua pasukan yang tidak berimbang ini di Medina Sidonia. Perang yang dahsyat pun berkecamuk selama delapan hari. Kaum muslimin dengan jumlahnya yang kecil tetap bertahan kokoh menghadapi hantaman orang-orang Visigoth pimpinan Roderick. Keimanan dan janji kemenangan atau syahid di jalan Allah telah memantapkan kaki-kaki mereka dan menyirnakan rasa takut dari dada-dada mereka. Di hari kedelapan, Allah pun memenangkan umat Islam atas bangsa Visigoth dan berakhirlah kekuasaan Roderick di tanah Andalusia.


Setelah perang besar yang dikenal dengan Perang Sidonia ini, pasukan muslim dengan mudah menaklukkan sisa-sisa wilayah Andalusia lainnya. Musa bin Nushair bersama Thariq bin Ziyad berhasil membawa pasukannya hingga ke perbatasan di Selatan Andalusia.

Musa bin Nushair dan Thariq bin Ziyad tidak hanya mengalahkan penguasa-penguasa zalim di Eropa, namun mereka berhasil menaklukkan hati masyarakat Eropa dengan memeluk Islam. Mereka berhasil menyampaikan pesan bahwa Islam adalah agama mulia dan memuliakan manusia. Manusia tidak lagi menghinakan diri mereka di hadapan sesama makhluk, kemuliaan hanya diukur dengan ketakwaan bukan dengan nasab, warna kulit, status sosial, dan materi. Musa dan Thariq juga berhasil menanamkan nilai-nilai tauhid, memurnikan penyembahan hanya kepada Allah semata.

Memandang keberhasilan Musa dan Thariq menaklukkan Andalusia dan menanamkan nilai-nilai Islam di negeri tersebut, khalifah al-Walid bin Abdul Malik memanggil mereka beruda kembali ke Damaskus.

Thariq bin Ziyad merupakan buah dari kebijakan-kebijakan Kerajaan Umawiyah yang seolah-olah dilupakan para pembencinya. Mereka disibukkan dengan isu-isu yang dibuat oleh orang-orang Syiah bahwa Bani Umayyah menzalimi ahlul bait Rasulullah. Mereka juga larut dengan kalimat-kalimat orientalis yang mengatakan Kerajaan Umawiyah jauh dari syariat Islam. Mereka tenggelam dengan kabar-kabar palsu itu dan lupa dengan jasa-jasa Bani Umayyah.

Bagi bangsa Eropa, tentu saja kedatangan Islam melalui Thariq bin Ziyad membawa dampak besar terhadap perkembangan peradaban mereka, sebagaimana tergambar pada kemajuan Kota Cordoba. Ini adalah awal kebangkitan modern dan terbitnya matahari yang menerangi kegelapan benua Eropa. Kediktatoran dan hukum rimba berganti dengan norma-norma humanis yang membawa kedamaian.

Jasa-jasa Thariq dan kepahlawanannya diabadikan dengan nama selat yang memisahkan Maroko dan Spanyol dengan nama Selat Gibraltar. Gibraltar adalah kata dalam bahasa Spanyol yang diartikan dalam bahasa Arab sebagai Jabal Thariq atau dalam bahasa Indonesia Bukit Thariq.

Semoga Allah membalas jasa-jasa Thariq bin Ziyad rahimahullah.

Tuesday, June 28, 2016

29th June - Hari Keluarga Berencana


Keluarga, merupakan bagian (komunitas) terkecil dari masyarakat. Tapi dari keluarga yang baik akan muncul pula masyarakat yang baik dan berkualitas. Baik di sini maksudnya dari segi rohani dan jasmaninya. Karena sangat pentingnya peran sebuah keluarga dalam masyarakat maka pemerintah sejak tahun 1994, tepatnya tanggal 29 Juni memperingati hari keluarga secara nasional. Peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) oleh pemerintah diadakan untuk mengajak seluruh keluarga Indonesia agar melakukan introspeksi dan berbenah diri guna berbuat yang terbaik bagi keluarganya.

Friday, June 24, 2016

Tentang Ka'bah - Tahapan Pembangunan Sang Rumah Tua



Ka'bah adalah bangunan suci kaum Muslim yang terletak di kota Mekkah, Arab Saudi. Letaknya persis di dalam Masjidil Haram. Bangunan ini berbentuk kubus dan ditetapkan sebagai arah kiblat bagi Muslim ketika sholat. Selain itu, bangunan ini merupakan bangunan yang wajib diziarahi pada musim haji dan umrah. Ka'bah juga dikenal dengan nama Baitullah (rumah Allah) atau Baitul Atiq (rumah tua).

Bagaimana sejarah awal mula hingga masa modern dari sang rumah tua ini?

Sahabat... tahukah kalian, Ka'bah yang kita lihat sekarang ini tidak lah sama dengan Ka'bah ketika pertama kali ia dibangun. Ada beberapa tahapan yang menyebutkan pembangunan Ka'bah hingga menjadi bangunan suci seperti yang kita kenal sekarang. Tahapan tersebut adalah :

1. Dibangun Pertama Kali oleh Malaikat

Sekitar 2000 tahun sebelum Nabi Adam diturunkan ke bumi, Ka'bah telah dibangun sebagai tempat thawaf para malaikat. Ini berdasarkan dari Imam ibnu Adh Dhiya bahwa telah diriwayatkan dari Ali bin al Husein ketika beliau ditanya tentang asal mulai thawaf mengelilingi Baitullah.

2. Dibangun Kembali oleh Nabi Adam As beserta Para Malaikat

Ka'bah dibangun kembali oleh Nabi Adam dengan bantuan para malaikat. Ini berdasarkan dari Abdullah bin Umar yang meriwayatkan, bahwa ketika menurunkan Adam ke bumi, Allah berfirman "Sungguh Aku menurunkanmu bersama dengan sebuah rumah yang disekelilingnya digunakan untuk thawad sebagaimana 'arasy-Ku, di sekitarnya dijadikan tampat sholat sebagaimana halnya 'arasy-Ku"

3. Dilanjutkan oleh Nabi Syts As

Ibnu Atsir menyebutkan bahwa Nabi Syts senantiasa melakukan haji hingga ajal menjemputnya dan beliaupun melaksanakan wasiat ayahnya untuk melanjutkan pembangunan Ka'bah dengan batu dan tanah.

4. Hancur Diterjang Banjir di zaman Nabi Nuh As

Setelah selesai dibangun oleh Nabi Syts, bangunan Ka'bah bertahan hingga zaman Nabi Nuh. Akan tetapi pada zaman tersebut, Ka'bah runtuh oleh bencana banjir mahadahsyat yang menerjangnya.

5. Zaman Nabi Ibrahim As dan Nabi Ismail As

Ketika Nabi Ibrahim meninggalkan Siti Hajar di suatu lembah yang gersang, reruntuhan Ka'bah ternyata ada disana. Akan tetapi bangunan tersisa tinggallah pondasi yang sebelumnya tertutup pasir tebal. Kemudian ketika Nabi Ibrahim kembali kesana, atas perintah Allah SWT, ia beserta Ismail membangun kembali sang rumah tua. Pondasi yang bertahan lebih dari 5000 tahun sebelumnya tertutup oleh pasir tersebut kemudian terlihat setelah Al Khajuj (angin) menyapu daerah berpasir itu.



Cikal bakal bangunan Ka'bah modern sudah terlihat di zaman ini. Saat pembangunan ini pulalah Hajar Aswad ditemukan dan diletakkan di Ka'bah.

6. Kerusakan dan Pembangunan Kembali

Setelah dibangun oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, bangunan Ka'bah beberapa kali mengalami kerusakan sehingga perlu dibangun kembali.
Pertama adalah pembangunan kembali pada masa Suku Amaliqah. Pembangunan ini lebih kepada perbaikan akibat kerusakan yang disebabkan oleh waktu.
Kedua adalah pembangunan oleh Suku Jurhum. Imam Mawardi menerangkan setelah masa Suku Amaliqah, Ka'bah rusak akibat banjir besar yang menerjangnya. Suku Jurhum lah yang kemudian memperbaikinya sekaligus menambah bangunan di luar Ka'bah sebagai penahan seandainya banjir di masa depan menerjang kembali.

7. Masa Suku Quraisy

Setelah Suku Jurhum, perawatan dan tanggung jawab Ka'bah kemudian diambil alih oleh Suku Quraisy. Lima tahun sebelum periode kenabian Muhammad SAW, Mekkah kembali dilanda banjir besar dan kembali lagi bangunan Ka'bah rusak berat. Kewajiban membangun Ka'bah pun dibagi kepada 4 Suku Quraisy yang ada disana dan Nabi Muhammad SAW pun termasuk didalamnya.



Hasilnya banyak perubahan yang terjadi pada Ka'bah, diantaranya bangunan pintu yang ditinggikan, membuat saluran air, dibangunnya atap Ka'bah serta ketinggian bangunan Ka'bah yang ditambah dari awalnya 4,5 m menjadi 8 m.

8. Masa Abdullah bin Zubair

Pada masa sebelumnya, perbaikan Ka'bah tidak selesai diakibatkan dana yang tidak mencukupi. Perbaikan Ka'bah pun tidak pernah terwujud sampai Rasulullah SAW wafat, padahal keinginan Nabi SAW untuk memperbaikinya begitu tinggi. Adalah Gubernur Mekkah pada tahun 65 H, Abdullah bin Zubair, yang kemudian mewujudkan keinginan Nabi SAW tersebut. Perbaikan ini juga untuk membangun kembali Ka'bah yang rusak parah akibat serangan lontaran batu oleh Yazid bin Muawiyah. Perbaikan kali ini juga menambah tinggi Ka'bah menjadi 15 m. Dan Ka'bah di masa beliau lah Ka'bah menjadi begitu megah dan sesuai dengan apa yang pernah disifatkan oleh Nabi Muhammad SAW sebagaimana yang diberitakan oleh Aisyah Ra.

9. Masa Abdul Malik bin Marwan

Ada kesalahpahaman terjadi dalam benak Khalifah Abdul Malik bin Marwan atas apa yang Abdullah bin Zubair perbuat terhadap Ka'bah. Saat itu Abdul Malik bin Marwan mengira perbaikan yang dilakukan oleh Abdullah bin Zubair adalah hasil buah pemikiran dia sendiri sehingga Ka'bah diruntuhkan bagian utaranya oleh Abdul Malik bin Marwan.
Kemudian setelah mengetahui hadits dari Aisyah Ra dimana keinginan Nabi SAW ternyata sesuai dengan apa yang telah dibangun oleh Abdullah bin Zubair, maka sang Khalifah pun menyesali perbuatannya. Akan tetapi ia mengurungkan niatnya untuk mengembalikan bentuk bangunan Ka'bah seperti sedia kala setelah berdiskusi dengan Imam Malik. Hal ini dimaksudkan oleh Imam Malik agar kemuliaan Ka'bah tidak lenyap dan mencegah di masa mendatang para penguasa Muslim tidak berlomba-lomba meruntuhkan dan membangun kembali Ka'bah sesuai dengan apa yang ada dalam pemikiran mereka.

10. Masa Kekhilafahan Turki Utsmani

Pada tahun 1039 H di masa Sultan Murad IV Al Utsmani, Mekkah dilanda hujan lebat. Hujan pun tak berhenti-henti sehingga banjir bandang pun sekali lagi melanda Mekkah dan meruntuhkan dinding dan atap bangunan Ka'bah. Sang Khilafah pun mengintruksikan perenovasian total Ka'bah. Dan setelah selesai, bentuk dan ukuran Ka'bah sebagaimana bentuknya yang kita kenal sekarang.

11. Masa Modern

Semasa Raja Fahd bin Abdul Aziz, Ka'bah direnovasi total pada tahun 1996 M atau bertapatan dengan tahun 1417 H. Renovasi meliputi penguatan pondasi, menganti atap, membuat saluran air dan menganti semua komponen menjadi komponen modern terkecuali batu Ka'bah.



Demikain Tahapan Pembangunan Sang Rumah, Ka'bah. Ternyata sejarah pembangunannya setua bahkan lebih tua dari sejarah manusia itu sendiri.
Semoga kita bisa mengambil manfaatnya dari kisah sejarah ini dan semoga tiap-tiap dari kita bisa melihat secara langsung pesona keindahan Baitullah ini kelak.
Aamiin.

------------------------------------------------

Sumber : 1 2 3 4

Wednesday, June 22, 2016

Bisakah Kita Merasakan Datangnya Sang Lailatul Qadar?


Seorang muslim tidak perlu memaksakan diri mencari-cari tanda-tanda malam lailatul qadar atau melihatnya. Hendaknya fokus pada 10 malam terakhir untuk beribadah. Hikmah dirahasiakan kapan malam tersebut agar terlihat siapa dari mereka yang memang bersungguh-sungguh mencari keutamaan malam lailatul qadar.

Namun sebagian orang bisa merasakan dan melihat malam lailatul qadar. Tanda-tandanya malam lailatul qadar diantaranya:
  • Udara terasa sejuk, tenang dan cerah. Dari Ibnu Abbas radhiallahu‘anhuma, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 
    ليلة لقدر ليلة سمحة, طلقةو لا حارة, ولا باردة, تصبح الشمس صبيحتها ضعيفة حمراء
    [malam] lailatul qadar adalah malam yang indah, cerah, tidak panas dan tidak juga dingin, keesokan harinya cahaya sinar mataharinya melemah kemerah-merahan” (HR. At-Thayalisy 349, Ibnu Khuzaimah III/231, Bazzar I/486, dihasankan oleh syaikh Ali Hasan Al-Halabi).
  • Matahari pada pagi harinya jernih dan tidak ada sinar yang menyilaukan. Dari Ubay radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
    صبيحة ليلة لقدر تطلع الشمس لا شعاع لها كأنها طست حتى ترتفع
    pagi hari malam lailatul qadar, matahari terbit tidak ada sinar menyilaukan, seperti bejana hingga meninggi” (HR. Muslim no. 762).
  • Ada rasa ketenangan dan kelezatan dalam beribadah karena para malaikat Jibril ‘alaihissalam malaikat turun pada malam tersebut. Allah Ta’ala berfirman,
    تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا
    Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril” (QS. Al Qadar: 4).
    Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan, “Banyak malaikat yang akan turun pada Lailatul Qadar karena banyaknya berkah pada malam tersebut. Karena sekali lagi, turunnya malaikat menandakan turunnya berkah dan rahmat. Sebagaimana malaikat turun ketika ada yang membacakan Al-Qur’an, mereka akan mengitari orang-orang yang berada dalam majelis dzikir (majelis ilmu). Dan malaikat akan meletakkan sayap-sayap mereka pada penuntut ilmu karena malaikat sangat mengagungkan mereka. Adapun “ar-ruh” ada pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah malaikat Jibril” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim 8/444, Darul Thayyibah, 1420 H, Syamilah).
Malam lailatul qadar terkadang bisa dilihat dan dirasakan. Pertanyaan berikut diajukan kepada syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, “Apakah lailatul qadar bisa dilihat oleh mata manusia? Karena sebagian orang mengatakan jika mampu manusia melihat lailatul qadar maka ia akan melihat cahaya di langit. Bagaimana Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat melihatnya? Bagaimana seseorang bisa tahu bahwa ia melihat malam lailatul qadar? Apakah ia tetap mendapat pahala jika pada malam itu ia tidak melihatnya? Kami memohon penjelasan bersama dalilnya”. 

Beliau menjawab, “malam lailatul qadar bisa dilihat dengan mata bagi mereka yang mendapat taufik dari Allah Subhanahu, dengan melihat tanda-tandanya. Para sahabat radhiallahu ‘anhum melihat dengan tanda-tandanya. Akan tetapi tidak melihatnya tidak menjadi penghalang mendapatkan pahala bagi mereka yang beribadah karena beriman dan mengharap pahala.

Hendaknya seorang muslim bersungguh-sungguh mencarinya pada 10 malam terakhir Ramadhan –sebagaimana Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para sahabatnya radhiallahu ‘anhum– untuk mencari pahalanya. Jika bertepatan dengan malam lailatul qadar ketika ia beribadah maka ia mendapat pahalanya walaupun ia tidak mengetahuinya.

Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 
من قام ليلة القدر إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه

Barangsiapa yang mengerjakan qiyamullail pada malam lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (Muttafaq ’alaihi)


Demikian semoga bermanfaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam.

Sumber








Tuesday, June 21, 2016

SahabatAmrullah Blog's First Anniversary


Congratulation For Meeeeee....!!!!!
And for U all, absolutely :D

Akhirnya blog kesayangan kita bersama (cieleeeh) memasuki tahun pertamanya. Tak terasa yah, udah satu tahun aja umurnya. Jangan cepet-cepet gede ya :D

Pada kesempatan kali ini juga aku mau mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada sahabat semua yang sudah mau membaca artikel dan mengikuti blog ini sampai sekarang. Hiks ane terharu lho.

Aku sangat menyadari bahwa blog ini masihlah blog yang secara kualitasnya masih rendah. Yah namanya juga masih amatiran. Masih banyak artikel yang copas (tapi tetep kucantumin sumbernya lho), banyak yang artikelnya biasa-biasa aja, dan label Cerpen yang masih sedikit isinya. Padahal banyak lho cerpen bahkan cerbung yang ingin ku bagi, tapi karena kesibukan yang menentu, akhirnya banyak yang terbengkalai.

Akhir kata, makasih ya.
Semoga semakin kedepan, semakin banyak juga artikel yang bisa dishare :D

Sunday, June 19, 2016

Puasa 24 Karat


Bila makan dan minum, yang hukum asalnya mubah saja diharamkan bagi orang yang sedang berpuasa, apalagi berdusta, ghibah, bersaksi palsu, mengadu domba, dan perbuatan maksiat lainnya, yang hukum asalnya adalah haram. Tentu lebih diharamkan lagi bagi orang yang sedang puasa.

Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda,

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ وَالْجَهْلَ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan zur (perkataan dusta), mengamalkannya, atau tindakan bodoh, maka Allah tidak butuh atas usahanya dalam menahan rasa lapar dan dahaga” (HR. Bukhori no.1903).

Makna zuur pada hadis di atas adalah perkataan dusta. Yang paling parahnya adalah persaksian palsu, yakni persaksian untuk menindas hak orang lain, atau untuk membenarkan yang keliru. Kemudian “mengamalkannya”, maksudnya melakukan tindakan-tindakan runtutan dari perkataan dustanya. Termasuk dalam hal ini, segala macam perbuatan yang menyimpang dari kebenaran; yakni maksiat.

Adapun makna tindakan bodoh di sini, adalah bodoh (tidak peduli) terhadap hak sesama. Seperti iri, hasad, menebar kebencian sesama muslim, dll. (Lihat: Syarah Ahadis As Shiyam min Kitab Bulughul Marom, hal. 120. Karya Syaikh Nashir bin Ibrahim Al ‘Abudi).

Ternyata untuk meraih kesempurnaan puasa, tidak cukup hanya dengan meninggalkan makan dan minum saja. Namun harus ada perjuangan meningalkan perbuatan sia-sia dan maksiat. Yang mana hal-hal tersebut akan merusak pahala puasa. Inilah puncak daripada tujuan disyariatkan puasa dan bentuk puasa yang diinginkan oleh Allah ‘azza wa jalla dalam firmanNya,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian untuk berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian menjadi insan yang bertakwa” (QS. Al- Baqarah: 183).

Bila puasa sekedar menahan lapar dan dahaga saja, semua orang bisa melakukannya. Tidak yang awam, tidak yang sudah tau agama. Bahkan orang-orang non muslim pun mampu. Namun, puasa lahir dan batin; yakni puasa dari makan minum, dan juga dari perbuatan-perbuatan maksiat yang dapat menodai kesucian hati dan merusak pahala puasa, tak semua orang dapat melakukan. Kecuali mereka yang dirahmati Allah ‘azza wa jalla.

Disinilah saudaraku, peluang untuk berlomba-lomba dalam meraih kualitas puasa terbaik. Semakin maksimal seorang hamba meninggalkan perbuatan maksiat saat puasa, semakin baik kualitas puasanya, dan tentu semakin sempurna pahalanya. Dalam Al Quran Allah ‘azza wa jalla selalu memberi motivasi kepada hambaNya dalam hal ini,

فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ

Berlomba-lombalah dalam kebaikan” (QS. Al Baqarah: 148).

Dalam ayat lain, Allah berfirman,

وَسَارِعُوا إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
Bergegaslah kalian kepada ampunan Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi. Yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa” (QS. Ali Imran: 133)

Apakah Maksiat Membatalkan Puasa?


Ibnu Rojab al Hambali, dalam buku beliau; Jami’ul ‘Ulum wal Hikam (jilid 1, hal.180) menuliskan sebuah kaidah,

أن المحرم إذا كان محرما لمعنى يختص بالعبادة يفسدها، وإن كان تحريمه عاما لم يفسدها
Larangan yang berhubungan khusus dengan suatu ibadah, maka bila dilakukan, larangan tersebut dapat membatalkan ibadah yang bersangkutan. Adapun suatu larangan yang sifatnya umum (tidak ada hubungan khusus dengan suatu ibadah), maka bila dilakukan tidak membatalkan ibadah.

Seperti puasa, larangan dari makan dan minum ada kaitan khusus dengan ibadah puasa. Karena di luar puasa, makan dan minum dibolehkan. Hanya saat puasa saja, seorang dilarang dari makan dan minum. Maka dari itu, larangan ini bila dilanggar akan membatalkan puasa. Adapun larangan dari perkataan dusta, ghibah, mengadu domba, dan maksiat lainnya, itu tidak ada kaitan khusus dengan puasa. Karena larangan ini diberlakukan umum; baik saat puasa maupun di luar ibadah puasa.

Dari kaidah ini, kita bisa ketahui, bahwa perbuatan maksiat tidak membatalkan puasa, hanya saja akan mengurangi pahala puasa. Apabila dilakukan terus menerus atau semakin banyak, maka akan sampai pada keadaan dimana seorang tidak mendapatkan dari puasanya, selain rasa lapar dan dahaga saja. Sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu’ alaihi wasallam dalam sabda beliau,

رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلاَّ الْجُوعُ وَرُبَّ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إِلاَّ السَّهَرُ
Berapa banyak orang yang berpuasa, tidak mendapatkan buah dari puasanya selain rasa lapar. Dan berapa banyak orang yang bangun beribadah di malam hari, namun tidak mendapatkan melainkan sekedar begadang.” (HR. Ibnu Majah).

Semoga Allah memberkahi hari-hari ramadhan kita.

Sumber 

Friday, June 17, 2016

Hadits-Hadits Dhoif Seputar Bulan Ramadhan


Cukup banyak hadits shahih dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang menjelaskan keutamaan bulan Ramadhan dan amal-amal shalih di dalamnya. Namun, banyak pula hadits-hadits seputar keutamaan bulan Ramadhan yang dha’if (lemah), maka kami pandang perlunya dipaparkan sekilas tentang beberapa hadits dha’if tersebut, yang telah banyak beredar di masyarakat, dan mencakup segala jenisnya.

Hadits dha’if dampak negatifnya cukup besar pada masyarakat, disebabkan adanya keyakinan orang-orang yang mengamalkannya bahwa hadits tersebut benar-benar berasal dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, baik berupa sabda atau perbuatan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, padahal kenyataannya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tidak pernah mengamalkan atau mengucapkannya. Karena inilah, maka kami anggap perlu menjelaskan hakikat hadits-hadits lemah tersebut, agar kita waspada selalu terhadap syariat yang tidak benar adanya dari Nabi kita Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam. Di antara hadits-hadits dha’if yang cukup masyhur dan sering dibawakan oleh banyak khatib dan penceramah di bulan Ramadhan tersebut adalah beberapa hadits berikut ini:
1. Hadits Anas bin Malik radhiallahu’anhu, beliau berkata:
كانَ النَّبيُّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ إذا دخلَ رجَبٌ ، قالَ : اللَّهمَّ بارِكْ لَنا في رجَبٍ وشَعبانَ ، وبارِكْ لَنا في رمَضانَ

Adalah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam jika memasuki bulan Rajab, beliau berdoa, “Ya Allah, berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban, dan berkahi kami (pula) di bulan Ramadhan”.
Hadits ini dha’if (lemah) atau munkar.

Dikeluarkan oleh al-Imam Ahmad dalam Musnadnya (4/180 nomor 2346), dan lain-lain. Pentahqiq Musnad al-Imam Ahmad, Syaikh Syu’aib al-Arnauth menyatakan bahwa sanadnya dha’if. Dan hadits ini dilemahkan pula oleh al-Imam al-Albani t dalam kitabnya Misykatul Mashabih (1/432) dan Dha’iful Jami’ ash-Shaghir (4395).

2. Hadits Mu’adz bin Zuhrah rahimahullah (seorang tabi’i)

Telah sampai kepadanya kabar bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika berbuka puasa beliau berdoa:
اللهم لك صمت وعلى رزقك أفطرت

Ya Allah, untukmu aku berpuasa dan atas rizki-Mu aku berbuka puasa”.
Hadits ini mursal dan dha’if.

Dikeluarkan oleh al-Imam Abu Dawud dalam Sunan-nya (2358), dan lain-lain.
Hadits ini lemah dengan sebab irsal, yaitu terputusnya sanad antara Mu’adz bin Zuhrah dan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Lihat penjelasan terperincinya pada kitab Dha’iful Jami’ ash-Shaghir (4349) dan Irwa-ul Ghalil (4/38 nomor 919).
Hadits ini diriwayatkan pula dari sahabat Anas bin Malik radhiallahu’anhu dan Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu’anhuma. Namun, kedua-duanya pula hadits dha’if.
Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah menjelaskan dalam kitabnya Nailul Authar (8/340-341):
“Hadits Mu’adz (bin Zuhrah) mursal, karena dia tidak bertemu dengan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Dan hadits serupa telah diriwayatkan oleh ath-Thabrani di dalam al-Mu’jam al-Kabir dan ad-Daruquthni; dari hadits Ibnu ‘Abbas dengan sanad yang dha’if… dan ath-Thabrani (meriwayatkan) dari Anas, beliau berkata, “Adalah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam apabila berbuka puasa beliau mengucapkan:
بسم الله اللهم لك صمت وعلى رزقك أفطرت

Dengan nama Allah, ya Allah untukmu aku berpuasa dan atas rizki-Mu aku berbuka puasa”.

Namun sanadnya lemah (pula). Karena di dalamnya terdapat Dawud bin az-Zabarqan, dan dia (periwayat) matruk (yang ditinggalkan haditsnya)”.
Syaikh Abu ‘Amr Abdullah Muhammad al-Hammadi berkata:
“Ketahuilah! Semoga Allah memberkahi Anda; bahwa sesungguhnya doa ini telah diriwayatkan dengan berbagai lafazh (redaksi yang mirip antara satu hadits dengan yang lainnya), yang seluruhnya lemah dan tidak dapat dijadikan hujjah (dalil). Sehingga tidak bisa digunakan untuk beribadah, dan tidak boleh (seseorang) beribadah dengannya, disebabkan kelemahan sanad-sanadnya”.
Lalu, apa doa berbuka puasa yang dapat kita amalkan?
Doanya adalah:
ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله

/Dzahabaz zhamaa-u wabtalatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insyaa Allah/

Telah hilang dahaga, telah basah urat-urat, dan telah tetap pahala, insya Allah”.

Hadits ini hasan, dikeluarkan oleh Abu Dawud (2357), ad-Daruquthni dalam Sunan-nya (2/185 nomor 25), dan lain-lain; dari Abdullah bin Umar. Dan al-Imam ad-Daruquthni mengatakan, “Sanad-nya hasan”. Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah dalam Nailul Authar (8/341) menjelaskan:
“(Hadits ini) diriwayatkan oleh Abu Dawud, an-Nasa-i, ad-Daruquthni, dan al-Hakim; dari hadits Ibnu Umar
dengan tambahan lafazh:

ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله

Telah hilang dahaga, telah basah urat-urat, dan telah tetap pahala, insya Allah”.
Ad-Daruquthni mengatakan, “Sanad-nya hasan”. 

3. Hadits Abu Hurairah radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

من أفطر يوما من رمضان من غير رخصة لم يقضه وإن صام الدهر كله

Barangsiapa berbuka puasa satu hari di bulan Ramadhan tanpa rukhshah (keringanan) yang diizinkan oleh Allah; niscaya ia tidak akan dapat menggantikannya (walaupun dengan berpuasa) sepanjang masa”.
Hadits ini dha’if. Hadits ini dikeluarkan dengan lafazh seperti di atas oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya ( 2396). Dan lafazh serupa diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (723), an-Nasa-i dalam as-Sunanul Kubra (3265), Ibnu Majah (1672), Ahmad (14/554 nomor 9012), dan lain-lain. Al-Imam al-Albani t menjelaskan dalam kitabnya Tamamul Minnah fit Ta’liqi ‘ala Fiqhis Sunnah (halaman 396): “Hadits ini dha’if (lemah), dan al-Bukhari telah mengisyaratkan dengan perkataannya yudzkaru (yakni; telah disebutkan). Dan telah dilemahkan pula oleh Ibnu Khuzaimah, al-Mundziri, al-Baghawi, al-Qurthubi, adz-Dzahabi, ad-Damiri sebagaimana yang telah dinukilkan oleh al-Munawi, dan al-Hafizh Ibnu Hajar dan beliau menyebutkan tiga penyakit hadits ini; al-idhthirab, al-jahalah, dan al-inqitha’.  

4. Hadits Abu Hurairah radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
  
يقولُ اللهُ عزَّ وجلَّ : إنَّ أحَبَّ عبادي إلَيَّ أسرَعُهم فِطْرًا

“Allah berfirman: Sesungguhnya di antara hamba-hambu-Ku yang paling Aku cintai adalah yang paling segera berbuka puasa”

Hadits ini dha’if, dengan sebab adanya periwayat dha’if dalam sanadnya. Dikeluarkan oleh at-Tirmidzi (700), Ahmad (12/182 nomor 7241), dan lain-lain. Lihat Dha’iful Jami’ ash Shaghir (4041).

Dan cukuplah bagi kita hadits shahih dari sahabat Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

لا يزالُ النَّاسُ بخَيرٍ ما عجَّلوا الفِطرَ عجِّلوا الفطرَ

“Manusia akan senantiasa dalam keadaan baik selama mereka menyegerakan berbuka puasa”.
Dikeluarkan oleh al-Bukhari (1957), dan Muslim (2/771 nomor 1098).

5. Hadits Anas bin Malik radhiallahu’anhu, beliau berkata:

سُئِلَ النبيُّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ أيُّ الصومِ أفضلُ بعدَ رمضانَ قال شعبانُ لتعظيمِ رمضانَ قال فأيُّ الصدقةِ أفضلُ قال الصدقةُ في رمضانَ

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ditanya: Puasa apa yang paling utama setelah Ramadhan? Beliau bersabda, “(Puasa) Sya’ban untuk mengagungkan Ramadhan”. Kemudian dikatakan kepada beliau: Sedekah apa yang paling utama?Beliau bersabda, “Sedekah di bulan Ramadhan”. 

Hadits ini dha’if, dengan sebab adanya periwayat dha’if dan bermasalah dalam sanadnya.
Dikeluarkan oleh at -Tirmidzi (663), dan lain-lain. Lihat penjelasan terperincinya pada kitab Irwa-ul Ghalil (889), dan Dha’iful Jami’ ash-Shaghir (1023).

Dan cukuplah pula bagi kita hadits shahih dari sahabat Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu’anhuma, beliau berkata:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم أجود الناس ، وكان أجود ما يكون في رمضان حين يلقاه جبريل ، وكان يلقاه في كل ليلة من رمضان فيُدارسه القرآن ، فالرسول الله صلى الله عليه وسلم أجودُ بالخير من الريح المرسَلة

Adalah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam orang yang paling dermawan, dan kedermawanan beliau paling tinggi pada bulan Ramadhan. Sesungguhnya Jibril ‘alaihissalam berjumpa dengan beliau pada setiap tahunnya di bulan Ramadhan hingga berakhir, dan beliau membacakan (memperdengarkan) al-Quran kepada Jibril. Maka jika Jibril berjumpa dengannya, Rasulullah `adalah lebih mulia (dermawan) dari angin yang berhembus. Dikeluarkan oleh al-Bukhari (6, 1902, 3220, 3554, 4997), dan Muslim (4/1803 nomor 2308), dan lafazh hadits di atas dalam Shahih Muslim.

6. Hadits Abu Hurairah radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

أول شهر رمضان رحمة ووسطه مغفرة وآخره عتق من النار

Permulaan bulan Ramadhan adalah rahmat (kasih sayang Allah), pertengahannya adalah maghfirah (ampunan Allah), dan akhirnya adalah pembebasan dari api neraka”.

Hadits ini dha’ifun jiddan (lemah sekali), atau munkar. Tentang hadits ini, al-Imam al-Albani tmenjelaskan dalam kitabnya Silsilatul Ahaditsi adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah (4/70 nomor 1569): “Dikeluarkan oleh al-‘Uqaili dalam ad-Dhu’afa (172), dan Ibnu ‘Adi (1/165), dan al-Khathib dalam al-Mudhih (2/77), dan ad-Dailami (1/1/10-11), dan Ibnu ‘Asakir (8/506/1); dari Sallam bin Sawwar, dari Maslamah bin ash-Shalt, dari az-Zuhri, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah; beliau berkata, Rasulullah `bersabda… dan kemudian beliau sebutkan haditsnya. Dan al-‘Uqaili berkata, “Tidak ada asal-usulnya dari hadits az-Zuhri”. Saya (al-Albani) katakan bahwa Sallam bin Sulaiman bin Sawwar, dia menurutku Munkarul Hadits (haditsnya munkar), sedangkan Maslamah tidak dikenal. Demikianlah yang juga disebutkan oleh adz-Dzahabi. Adapun Maslamah, maka Abu Hatim juga telah berkata tentangnya, “Matrukul Hadits (haditsnya ditinggalkan)”, sebagaimana disebutkan pada biografi beliau dalam kitab al-Mizan…”. Lihat pula Silsilatul Ahaditsi adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah (2/262-264 nomor 871).

7. Hadits Abu Mas’ud al-Ghifari radhiallahu’anhu, beliau berkata:

سمِعتُ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم ذاتَ يومٍ وأهلَّ رمضانُ فقال لو يعلمُ العبادُ ما رمضانُ لتمنَّت أمَّتي أن تكونَ السَّنةُ كلُّها رمضانَ فقال رجلٌ من خزاعةَ يا نبيَّ اللهِ حدِّثْنا فقال إنَّ الجنَّةَ لتُزيَّنَ لرمضانَ من رأسِ الحوْلِ إلى الحوْلِ فإذا كان أوَّلُ يومٍ من رمضانَ هبَّت ريحٌ من تحتِ العرشِ فصفَّقت ورقُ أشجارِ الجنَّةِ فتنظرُ الحورُ العينُ إلى ذلك فيقلن يا ربَّنا اجعلْ لنا من عبادِك في هذا الشَّهرِ أزواجًا نقرُّ بهم وتقرُّ أعينُهم بنا قال فما من عبدٍ يصومُ يومًا من رمضانَ إلَّا زُوِّج زوجةً من الحورِ العينِ في خيمةٍ من درَّةٍ كما نعت اللهُ عزَّ وجلَّ { حُورٌ مَقْصُورَاتٌ فِي الْخِيَامِ } على كلِّ امرأةٍ منهنَّ سبعون حُلَّةً ليس منها حُلَّةٌ على لونِ الأخرَى وتُعطَى سبعين لونًا من الطِّيبِ ليس منه لونٍ على ريحِ الآخرِ لكلِّ امرأةٍ منهنَّ سبعون ألفَ وصيفةٍ لحاجتِها وسبعون ألفَ وصيفٍ مع كلِّ وصيفٍ صفحةٌ من ذهبٍ فيها لونُ طعامٍ يجِدُ لآخرِ لُقمةٍ منها لذَّةً لم يجدْه لأوَّلِه ولكلِّ امرأةٍ منهنَّ سبعون سريرًا من ياقوتةٍ حمراءَ على كلِّ سريرٍ سبعون فراشًا بطائنُها من إستبرقٍ فوق كلِّ فراشٍ سبعون أريكةً ويُعطَى زوجُها مثلَ ذلك على سريرٍ من ياقوتٍ أحمرَ موشَّحًا بالدُّرِّ عليه سُوران من ذهبٍ هذا بكلِّ يومٍ صامه من رمضانَ سوَى ما عمِل من الحسناتِ

Aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pada suatu hari menjelang Ramadhan, beliau bersabda, “Seandainya para hamba tahu apa yang terdapat pada bulan Ramadhan, niscaya umatku berangan-angan agar satu tahun seluruhnya bulan Ramadhan”. Lalu seorang dari Khuza’ah berkata, “Wahai Nabi Allah! Kabarilah kepada kami (keutamaan Ramadhan tersebut)!”. 

Maka Rasulullah pun bersabda, “Sesungguhnya surga dihiasi untuk (menghadapi) bulan Ramadhan dari permulaan tahun ke tahun (berikutnya). Maka apabila masuk hari pertama di bulan Ramadhan, bertiuplah angin dari bawah ‘Arsy, dan berdesirlah dedaunan pohon-pohon surga. Kemudian para bidadari melihatnya , dan mereka berkata, Wahai Rabb kami, jadikanlah untuk kami dari hamba -hamba-Mu yang shalih di bulan ini para suami yang kami berbahagia dengan mereka dan mereka pun berbahagia dengan kami”.

Beliau pun kembali bersabda, “Maka tidaklah seorang hamba pun berpuasa satu hari di bulan Ramadhan, melainkan ia pasti akan dinikahkan dengan isteri dari kalangan bidadari di dalam kemah yang terbuat dari mutiara, sebagaimana Allah sifatkan mereka dalam firman-Nya: (Bidadari-bidadari) yang jelita, putih bersih, dipingit dalam rumah (kemah). [QS. Ar-Rahman: 72]. Setiap orang dari bidadari-bidadari tersebut memiliki tujuh puluh jubah, yang masing-masingnya berwarna berbeda dari warna jubah yang lainnya. Para bidadari itu pun diberi tujuh puluh jenis parfum, yang masing-masingnya beraroma berbeda dari yang lainnya. Mereka pun memiliki tujuh puluh ribu pelayan, yang masing-masing dari pelayan tersebut membawa nampan dari emas yang di atasnya terdapat makanan yang setiap suapan dari makanan tersebut memiliki kelezatan yang berbeda dari kelezatan suapan-suapan berikutnya. Kemudian para bidadari itu pun memiliki tujuh puluh ranjang terbuat dari permata berwarna merah, yang di atas setiap ranjang tersebut terdapat permadani yang bantalannya terbuat dari sutera . Dan di atas setiap permadani tersebut terdapat dipan-dipan. Demikianlah para suami mereka pun diberi hal yang sama. Mereka berada di atas ranjang yang terbuat dari permata merah yang dihiasi oleh mutiara, dan berpagarkan emas. Ini adalah balasan untuk satu harinya di bulan Ramadhan, belum termasuk pahala lainnya dari amal-amal baik yang ia kerjakan”.
Hadits ini maudhu’ (palsu)
Syaikh Abu ‘Amr Abdullah Muhammad al-Hammadi berkata:
“(Hadits ini) dikeluarkan oleh Abu Ya’la dalam Musnad-nya [sebagaimana dalam al-Matholibul ‘Aliyah (1/396) (1032)], dan asy-Syasyi dalam Musnad-nya (2/277) (852), dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya (3/160) (1886), dan al-Ashbahani dalam at-Targhib wat Tarhib (2/356) (1765), dan Ibnu Abid Dun-ya dalam Fadha-ilu Ramadhan (halaman 49) (22), dan al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (3/313) (3634) dan dalam Fadha-ilul Awqat (halaman 158) (46), dan Ibnul Jauzi dalam al-Maudhu’at (2/547) (1119); dari jalan Jarir bin Ayyub, dari asy-Sya’bi, dari Nafi’ bin Burdah, dari Abdullah bin Mas’ud (atau dari Abu Mas’ud), ia berkata, Aku mendengar Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda di permulaan bulan Ramadhan… kemudian menyebutkan haditsnya”.

Hadits ini terkadang diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud, dan terkadang dari Abu Mas’ud al-Ghifari. Oleh karena itu, al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam kitabnya al-Matholibul ‘Aliyah (1/397) setelah beliau membawakan hadits ini, “Dan Ibnu Mas’ud bukanlah al-Hudzali yang masyhur, akan tetapi dia adalah al-Ghifari, (sahabat) yang lain”.

Dan yang menyebabkan hadits ini dihukumi palsu adalah karena di dalam sanadnya terdapat perawi yang bernama Jarir, yaitu Jarir bin Ayyub bin Abi Zur’ah bin ‘Amr bin Jarir al-Bajali al-Kufi. Seorang perawi hadits yang dihukumi oleh para ulama hadits; munkarul hadits (haditsnya munkar), atau dha’iful hadits (haditsnya lemah), atau bahkan pemalsu hadits.

Al-Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata dalam kitabnya al-Maudhu’at (2/549): “Hadits ini palsu (dipalsukan) atas nama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, dan yang tertuduh memalsukannya adalah Jarir bin Ayyub”.

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah mengatakan dalam kitabnya al-Matholibul ‘Aliyah (1/397): “Jarir bin Ayyub menyendiri dalam (periwayatan) hadits ini, sedangkan dia sangat lemah sekali”.

Dan al-Imam asy-Syaukani rahimahullah menjelaskan pula dalam kitabnya al-Fawa-idul Majmu’ah (halaman 88): “Diriwayatkan oleh Abu Ya’la dari Ibnu Mas’ud secara marfu’ (sampai kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam), dan hadits ini palsu. Penyakitnya adalah Jarir bin Ayyub”.

8. Hadits Anas bin Malik radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

مَنْ تأمَّل خَلْقَ امرأةٍ حتى يتبيَّنَ له حجمُ عظامِها من ورائِها وهو صائمٌ فقد أفطرَ

Barangsiapa memperhatikan bentuk (rupa) seorang wanita hingga jelas baginya bentuk tulangnya dari balik pakaiannya sedangkan ia sedang berpuasa; maka batal (puasanya)”.
Hadits ini maudhu’ (palsu).
Hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu ‘Adi dalam kitabnya al-Kamil fi adh-Dhu’afa (3/204), dan melalui jalannya Ibnul Jauzi mengeluarkan dalam kitabnya al-Maudhu’at (2/559), dan lain-lain; dari jalan al-Hasan bin ‘Ali al-‘Adawi, ia berkata: Telah mengkhabarkan kepada kami Kharasy bin Abdillah seorang pelayan Anas bin Malik, ia berkata: Telah mengkhabarkan kepada kami Anas bin Malik, beliau berkata: Rasulullah ` bersabda… kemudian menyebutkan haditsnya.
Pada sanad hadits ini terdapat dua orang perawi yang bermasalah, yaitu al-Hasan bin ‘Ali al-‘Adawi, ia seorang pemalsu dan pencuri hadits. Dan orang yang kedua adalah Kharasy bin Abdillah, seorang perawi yang majhul (tidak diketahui keberadaan periwayatannya) dan tidak dikenal.
Al-Imam Ibnul Jauzi t berkata dalam kitabnya al-Maudhu’at (2/559): “Ini adalah hadits palsu, dalam (sanadnya) terdapat dua orang pendusta, yang pertama; al-‘Adawi, dan yang kedua; Kharasy”.

9. Hadits Salman bin ‘Amir adh-Dhabbi radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

الصائم في عبادة و إن كان راقدا على فراشه

Orang yang berpuasa dalam (keadaan) beribadah, walaupun ia tidur di atas ranjangnya”.
Hadits ini dha’if atau dha’ifun jiddan (lemah sekali).
Hadits ini dikeluarkan oleh Tammam dalam Fawa-id-nya (2/49) (1109) dari jalan; Hasyim bin Abi Hurairah al-Himshi, dari Hisyam bin Hassan, dari Ibnu Sirin, dari Salman bin ‘Amir adh-Dhabbi, dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.
Sanad hadits ini dha’if, disebabkan adanya beberapa perawi yang majhul dan dha’if, seperti Hasyim bin Abi Hurairah al-Himshi dan Hisyam bin Hassan yang telah disebutkan di atas.

10. Hadits Abu Hurairah radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

الصومُ نِصفُ الصَّبرِ

Puasa adalah setengah kesabaran…”.
Hadits ini dha’if (lemah).

Al-Imam al-Albani rahimahullah menjelaskan dalam kitabnya Silsilatul Ahaditsi adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah (8/281 nomor 3811):
“Dikeluarkan oleh Ibnu Majah (1/531), dan al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab (3/292/3577, 3578), dan al-Qadha’i dalam Musnad asy-Syihab (1/13); dari Musa bin ‘Ubaidah, dari Jahman, dari Abu Hurairah secara marfu’ (sampai Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam). Dan ini sanad yang dha’if, disebabkan Musa bin ‘Ubaidah, dan ia telah disepakati atas kelemahannya”.

Demikianlah beberapa hadits dari sekian banyak hadits lemah dengan segala jenisnya yang disandarkan kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tentang seputar bulan Ramadhan, namun tidak sah dan tidak benar asalnya dari beliau Shallallahu’alaihi Wasallam.
Al-Imam Abdullah bin al-Mubarak rahimahullah (181 H) telah berkata:
في صحيح الحديث شغل عن سقيمه

Pada sebuah hadits yang shahih terdapat sesuatu yang menyibukkan dari (beramal dengan) hadits lemah”.

-------------------------------------------------------
 
Mudah-mudahan tulisan ringkas ini bermanfaat, menambah ilmu, iman dan amal shalih kita semua.
Wallahu A’lamu bish Shawab.

Sumber 

Kisah Sultan Sulaiman Al-Qanuni dan Semut Istana


Sultan Sulaiman Al-Qanuni adalah sultan Turki Utsmani yang paling lama memerintah diantara para sultan-sultan lainnya. Ia bertahta selama 46 tahun dengan prestasi yang luar biasa. Salah satu jasanya adalah memperkuat peraturan (Qanun) Daulah Turki Utsmani (Ottoman)  dengan mengadaptasi  dari Al-Qur’an dan as Sunnah.  Karena jasanya itulah ia dijuluki Al-Qanuni.
Ia dikenal beramal sholeh, banyak berpuasa, qiyamul lail, dan keadilannya terhadap masyarakat, termasuk kepada semut sekalipun. Perhatikanlah bagaimana ia mengakhiri hidupnya , karena akhir kematian seseorang adalah akumulasi dari  kehidupannya.
Ketika ia mendengar salah satu Negara bagian kekuasaan Ottoman mendapatkan serangan dari raja Austria, maka ia memutuskan langsung  ekspansi ke jantung Austria Kota Wina (Ibu Kota Austria) sedangkan ia dalam keadaan sakit keras, para dokter istana menasihatinya agar ia mengurungkan niatnya untuk memimpin sendiri demi kesehatannya
Namun Al-Qanuni menolaknya seraya berkata, “Sungguh aku berharap mati Syahid di medan jihad.”
Maka tak ada pilihan lain kecuali mengikuti titah Sang Sultan, tentara memikul Al-Qanuni ke medan jihad karena ia nyaris tak bisa bergerak karena sakit keras
Ketika pasukan Muslimin sampai ke Benteng Szigetvar (sekarang di Hungaria) yang merupakan salah satu benteng terkuat di dunia saat itu, berkecamuklah perang antara kaum muslimin dengan pasukan Kristen. Kokohnya Benteng Szigetvar nyaris membuat tentara islam putus asa setelah berperang selama 5 bulan. Dalam suasana putus asa para tentara itu terdengar lantunan do’a Sultan Sulaiman Al-Qanuni agar Allah Subhanahu Wata’ala memberikan kemenangan kepada kaum muslimin.
Kemudian para tentara Islam mengerahkan sisa-sisa tenaganya untuk menguasai benteng itu, dengan izin Allah Subhanahu Wata’ala dan semangat jihad yang tulus pasukan Islam akhirnya mampu memenangkan pertempuran dan menguasai Benteng Szigetvar yang legendaris itu.


Ketika Sultan Sulaiman Al-Qanuni mendengar kabar bahwa benteng sudah ditaklukan dan bendera Islam sudah berkibar di atasnya beliau berkata, "Sekaranglah saatnya kematian yang menyenagkan itu datang."
Kemudian suara itu hilang pelan-pelan dan sang Sultan “The Magnificent” Sulaiman meninggal ditempat dan susasan yang ia cintai,yaitu  Jihad Fi Sabilillah!
Ketika berita kematian Sultan Sulaiman sampai kepada Muslimin, maka seluruh penjuru Negara Islam  dihujani tangisan kesedihan, bukan karena tidak menerima ketentuan Allah Subhanahu Wata’ala, tapi karena cinta itu sudah memenuhi  jiwa mereka selama 46 tahun.
Suasana berbeda terjadi di Barat, mereka bersuka ria atas kematian  Sultan yang mereka sendiri memberikan julukan The Magnificent  atau sang fenomenal  kepadanya, lonceng-lonceng dibunyikan, dan mereka jadikan hari itu hari bersejarah buat mereka.
Di tengah-tengah pemakaman Sultan Sulaiman, terdengar wasiat bahwa sebelum kematiannya beliau meminta dikuburkan dengan sebuah kotak yang terkunci miliknya, keluarga dan orang terdekatnya tidak berani membuka apa isi kotak itu gerangan. Para ulama khawatir jika yang ada dalam kotak itu adalah intan berlian yang haram dikubur bersama jasad mayat, maka akhirlah sepakatlah para ulama untuk membuka kotak itu.
Setelah dibuka, ternyata yang ada dalam kotak itu adalah kumpulan kertas-kertas usang yang merupakan fatwa-fatwa para mufti dan ulama, karena ia dikenal tidak berani membuat suatu peraturan kecuali meminta fatwa dari para mufti daulah dan para ulama.
Salah satu fatwa yang ada dalam kotak tersebut adalah permintaan Sultan Sulaiman kepada Mufti Daulah Utsmaniyah saat itu  Abi Sa’ud Afandi untuk menjelaskan tentang hukum meletakan kapur di ranting-ranting pohon di istana kekhalifahan agar semut tidak masuk, menyebar dan mengotori istana. Kapur-kapur ini bisa jadi membunuh semut-semut itu.
Maka Abi Sa’ud Afandi saat itu memfatwakan bolehnya pemakaian kapur itu agar semut-semut tidak menyebar ke Istana.
Setelah membaca lembaran fatwa itu Mufti Abi Sa’ud Afandi menangis tersedu-sedu seraya berkata, “Engkau telah menyelamatkan dirimu Wahai Sulaiman, Engkau telah menyelamatkan dirimu Wahai Sulaiman, langit yang mana yang akan menaungiku? Dan bumi yang mana yang menerima kami semua  jika kami  salah dalam fatwa –fatwa kami?”

Monday, June 13, 2016

Perbandingan Waktu Puasa Dari Berbagai Negara


Alhamdulillah akhirnya bulan suci ini kembali lagi dan kita telah diberi anugerah oleh-Nya karena kita masih diberi kesempatan bersua dengan bulan Ramadhan.

Dan bagaimana puasa Sahabat?
Masih lancar jaya kan?

Cape?
Mager?

Harus semangat donk Bat, masa Muslim di Indonesia pada loyo puasanya. Padahal lho ya, kita masih beruntung lho puasanya di Indonesia, waktu puasanya relatif masih pendek. Dibelahan bumi yang lain ada waktu puasanya lebih lama berjam-jam daripada Indonesia.

Mau lihat perbandingan waktu puasanya dari berbagai negara?
Yuk kita jalan-jalan bentar...

Indonesia


Indonesia negara tropis yang dilewati garis khatulistiwa cenderung sama lama panjang siang-malamnya sepanjang tahun. Tahu berapa lama kita berpuasa setiap harinya? Sekitar 13 jam (aja).

Australia


Negara tetanggaan kita ternyata punya waktu puasa lebih pendek lho Bat. Lama puasa mereka sekitar 11 jam 24 menit.

Chile


Indonesia sama Aussie ga ada apa-apanya Bat sama Chile, hehe. Mau tau berapa lama mereka berpuasa? Cuma 9 jam 43 menit Bat!!!
Jadi kepikiran mau sahur di Indonesia tapi berbukanya di Chile :v

India



Islam merupakan populasi agama terbesar ke-2 di India dan muslim disana menjalani waktu 14 jam 39 menit setiap harinya di bulan Ramadhan untuk berpuasa. Ga akan terasa lama sih klo sambil nonton filmnya Shah Rukh Khan.
Hehe becanda :D

Arab Saudi


Well bagaimana dengan Arab Saudi, negara tempat dua kota suci umat Islam ini berada? Hampir 15 jam Bat, cukup lama yah.

Mesir
 

Negeri para Firaun ini termasuk salah satu negara di Afrika dengan waktu puasa terlama lho. Kurang lebih 16 jam sehari mereka berpuasa. Hampir 1 jam lebih lama daripada waktu Mekkah.

China


"Tuntutlah ilmu sampai ke negeri China"
Begitu salah satu nasehat Nabi. Nah sekarang bagaimana klo kita puasa di sana? Yah agak lama sih, sekitar 17 jam Bat.

Amerika Serikat


Ada perbedaan waktu puasa di Negeri Paman Sam ini. Wajar karena wilayahnya cukup luas. Waktu terpendek puasa di negara ini dipegang oleh Los Angeles yang lamanya sekitar 15 jam 49 menit. Sedangkan waktu terlama ada di wilayah Alaska dengan waktu puasa sekitar 19 jam 45 menit!

Jerman


Waktu puasa di Jerman menjadi salah satu waktu puasa terpanjang. Bukan cuma di Eropa, tapi juga di seluruh dunia. Muslim disana harus menunggu adzan magrib dari waktu subuh sekitar 19 jam. Wow.

Islandia


Negara dekat Kutub Utara ini ga main-main dah waktu puasanya. Lamaaa banget karena memang matahari disana agak "telat" terbenamnya. Bayangkan muslim disana harus berpuasa 22 jam lamanya.
Klo ane sih bisa-bisa nyerah duluan T.T

North Pole & South Pole


Ada fenomena "unik" bila kita berada di kutub. Siang dan malam tidak berjalan selayaknya di belahan bumi yang lain. Kadang berhari-hari matahari tak muncul dan ketika muncul, matahari hanya menyapa sebentar.
Nah sekarang bayangkan kita puasa disana. Apa bisa bertahan puasa berhari-hari disana?
Hehe ngga lah, ngga bisa. Jangan-jangan ntar malah kondisi kesehatan yang jadi ancaman.
Oleh karenanya ditempat-tempat yang dekat kutub dan mempunyai anomali waktu yang "berbeda" itu, muslim yang memilih berpuasa dengan mengikuti waktu Mekkah. Jadi mereka tak menunggu matahari muncul dulu baru berbuka. 

Yah dimanapun atau berapa lamapun waktu kita berpuasa harusnya disyukuri.
Karena Ramadhan hanya datang satu kali setahun dan didalamnya segala rahmat-Nya turun kepada kita.
Sehingga pertanyaan sesungguhnya bukan berapa lama kita berpuasa, akan tetapi apa yang kita lakukan ketika sedang berpuasa.

Sekian...
Wassalam..

Sumber