Monday, September 4, 2017

Derita Rohingya, Derita Kita Juga


"......dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial....."

Demikian sedikit penggalan dari isi Pembukaan UUD 1925 Republik Indonesia yang menjadi cikal bakal dari segala tindakan bangsa Indonesia. Sebuah kalimat yang begitu jelas bahwa para pendiri negeri ini menginginkan bukan saja kemerdekaan, perdamaian dan keadilan bagi masyarakat Indonesia tapi juga bagi masyarakat dunia dengan ikut serta dalam upaya ketertiban dunia.

Oleh karenanya, Indonesia terjun langsung dalam membantu perdamaian dunia seperti contohnya dengan aktif ikut serta menjadi salah satu penjaga perdamaian di berbagai kawasan di dunia melalui Pasukan Garuda ataupun sikap politik dengan tidak mengizinkan adanya Kedubes Israel ada di Indonesia dan hubungan bilateral dikarenakan kekejaman Zionis Israel terhadap warga Palestina yang tidak dapat dibenarkan. Indonesia dari dulu dan (semoga) hingga sekarang, tidak pernah membiarkan kekejaman ada di muka bumi ini.

Bukan saja ditingkat pemerintah, bahkan jiwa-jiwa setiap individu rakyat Indonesia juga menyerukan hal sama. Sesuai dengan sila kedua Pancasila "Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab", rakyat Indonesia mempunyai jiwa yang menggelora setiap ada tindakan sewenang-wenang dan biadab, dari mana pun, oleh siapapun.

Sehingga kita bisa memahami bahwa apa yang sudah kita ketahui kondisi saat ini di Myanmar, penderitaan etnis Rohingya disana, adalah penderitaan kita juga. Genosida disana nyata, dan kita marah akan hal itu.


Tapi seperti yang dikatakan Presiden Turki, Erdogan, dunia seakan buta dan tuli dengan apa yang dilakukan pemerintah Myanmar ke etnis Rohingya. Tak peduli, tak heboh. Padahal kekejaman yang terjadi tak kalah bahkan lebih lagi apabila dibandingkan dengan berbagai isu yang terjadi di Eropa ataupun di Amerika Serikat. Persis seperti apa yang ada di Palestina, mereka para pemimpin dunia terdiam dan tak kuasa (atau tak mau) untuk menghentikan kekejaman ini.

Ironisnya adalah, pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi yang mendapatkan Nobel Perdamaian ditahun 1991, malah terdiam sunyi. Lalu dimanakah kata-katanya dulu "Pada dasarnya tujuan hidup manusia adalah menciptakan dunia yang bebas dari penindasan, rasa putus asa dan tidak memiliki tempat tinggal"?
Bullshit!

Lalu bagaimana dengan Indonesia?
Terakhir Presiden Joko Widodo mengutus Menteri Menlu Retno Marsudi untuk berkomunikasi langsung dengan pemerintah Myanmar. Jokowi juga telah menyampaikan sikap, walau setahu saya dari perkataan beliau tidak ada ucapan mengutuk, tapi paling tidak beliau berujar bahwa apa yang terjadi harus dihentikan dan mengatakan harus ada aksi nyata agar semua ini berakhir.
Kita tunggu, aksi nyata seperti apa yang dimaksudkan oleh presiden kita.

Detik ini tulisan yang saya tulis ini dibuat, entah berapa orang Rohingya yang masih menderita ataupun yang hilang nyawanya.

Apapun kontribusi kita amatlah berarti, bahkan doa pun sudah sangat berarti dan menunjukkan ada dimana posisi kita. Donasi tentu bernilai sama. Sama-sama baiknya dan lebih baik lagi dilakukan keduanya.

Yang ga baik itu adalah yang nyinyir. Seakan apa yang terjadi di Myanmar bukan urusannya, ngga berpengaruh kehidupnya. Padahal siapa tahu besok kita yang merasakannya, karena peristiwa di dunia itu seakan roda yang berputar dengan cepatnya. Oleh karenanya, selagi negara kita kuat maka ambil lah peran untuk menjaga ketertiban dunia. Segala bentuk penjajahan dan genosida harus segera dimusnahkan dari muka bumi.

Terakhir, begitu banyak hoax yang berseliweran. Baik itu berita ataupun foto. Selain itu banyak juga pihak yang mencoba menggembosi kegawatdaruratan peristiwa yang ada. Maka telaah dengan baik. Tetap fokus dijalan dimana tujuan kita menghilangkan penderitaan etnis Rohingya bisa tercapai. Jangan sampai niat dan tindakan baik kita tercoreng karena sikap terburu-buru kita.

Kandangan, 4 September 2017
Kami saudaramu, Rohingya

0 comments:

Post a Comment